BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Kesehatan ibu dan anak masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena masih tingginya angka kematian ibu dan angka kematian bayi
yang ada di Indonesia. Menurut SDKI (2003) angka kematian ibu (AKI) di
Indonesia 307 per 100.000 kelahiran hidup yaitu 3-6 kali lebih tinggi dari
negara ASEAN lainnya. AKI di Indonesia sekitar 18.000 setiap tahun yang
berhubungan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas.
Kematian ibu tersebut erat kaitannya dengan
karakteristik ibu yang meliputi umur, pendidikan, paritas dan perilaku yang
berpengaruh terhadap kondisi kesehatan ibu selama hamil yang dapat mempengaruhi
proses persalinan normal atau patologis. Resiko terjadi komplikasi pada
persalinan terjadi 12% pada usia kurang dari 20 tahun dan 26% pada usia 40
tahun (Ningrum E.W, 2005). Sementara kematian ibu karena komplikasi persalinan
akibat perdarahan sebelum dan sesudah persalinan meningkat dengan bertambahnya
paritas.
Gulardi H,
(2006) menyatakan AKI dapat diturunkan sekitar 317 (85%) dari AKI saat ini,
jika ibu berperilaku hidup sehat selama kehamilan yaitu merawat kehamilan
dengan baik melalui asupan gizi yang baik, memakan tablet zat besi, melakukan
senam hamil, perawatan jalan lahir, menghindari merokok dan makan obat tanpa
resep. Melakukan kunjungan minimal empat kali untuk mendapat informasi dari
petugas kesehatan tentang perawatan yang harus dilakukan.
WHO
mengembangkan konsep melalui empat pilar safe motherhood yaitu keluarga
berencana, asuhan antenatal, persalinan bersih dan aman serta pelayanan
obstetri dasar. Tujuan upaya ini adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian ibu hamil, bersalin dan nifas, disamping menurunkan angka kesakitan
dan kematian bayi baru lahir. Untuk mencapai tujuan tersebut Depkes RI (1999)
melakukan upaya safe motherhood yaitu berupaya menyelamatkan wanita agar
setiap wanita yang hamil dan bersalin dapat dilalui dengan sehat dan aman serta
menghasilkan bayi yang sehat dan aman.
Mengingat
pentingnya kesehatan ibu dan bayi pada tanggal 12 Oktober 2000, pemerintah
telah mencanangkan Making Pregnancy Safer (MPS), Gerakan Nasional
Kehamilan yang aman melindungi hak reproduksi dan hak azazi manusia dengan cara
mengurangi beban kesalahan, kecacatan, kematian, yang berhubungan dengan
kehamilan dan persalinan. Oleh karena itu Departemen Kesehatan melalui dinas
kesehatan propinsi menganjurkan kepada setiap penolong persalinan baik di
klinik, puskesmas maupun rumah sakit harus mendapatkan pelatihan dan mempunyai
sertifikat Asuhan Persalinan Normal (APN) supaya ibu mendapat asuhan yang tepat
sejak kala satu, dua, tiga dan empat selama persalinan sehingga persalinan
dapat berlangsung normal.
1.2 Tujuan Umum
1.
Mengetahui masalah kesehatan ibu dan anak di Indoensia
1.3 Tujuan Khusus
1. Mengeetahui
mortalitas pada maternal
2. Mengetahui
Faktor apa yang mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pada maternal
3. Mengetahui
cara perawatan prakonsepsi
4. Mengetahui
perawatan antenatal
5. Mengetahui
perawatan intranatal
BAB II
TEORI DAN KONSEP
1.
Mortalitas pada Maternal
A. Definisi
Kematian
maternal menurut batasan dari The Tenth Revision of The International
Classification of Diseases (ICD-10) adalah kematian wanita yang terjadi pada
saat kehamilan, atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tidak
tergantung dari lama dan lokasi kehamilan, disebabkan oleh apapun yang
berhubungan dengan kehamilan, atau yang diperberat oleh kehamilan tersebut atau
penanganannya, tetapi bukan kematian yang disebabkan oleh kecelakaan atau kebetulan
(WHO,2007).
Kematian-kematian
yang terjadi akibat kecelakaan atau kebetulan tidak dimasukkan ke dalam
kematian maternal. Untuk memudahkan identifikasi kematian maternal ICD-10
memperkenalkan kategori baru yang disebut pregnancy – related death (kematian
yang dihubungkan dengan kehamilan) yaitu kematian wanita selama hamil atau
dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung dari penyebab
kematian (WHO, 2007)
Berdasarkan
definisi tentang kematilan maternal tersebut di atas, maka dapat diringkas
beberapa kata kunci untuk kematian maternal yaitu: ibu/ wanita hamil,
meninggal dunia selama masa kehamilan, kehamilan ektopik, abortus (keguguran)
baik spontan atau buatan, melahirkan (bersalin), dan masa nifas (42 hari
setelah kehamilan berakhir), yang disebabkan bukan oleh kecelakaan atau
insidental (faktor kebetulan). Menurut urutan penyebab kematian maternal, dapat
terjadi 2 kemungkinan: 1) kehamilan dan persalinan menyebabkan komplikasi pada
ibu hamil sehingga ibu hamil meninggal dunia; 2) sebelum
kehamilan seorang perempuan memang sudah memiliki penyakit/gangguan
kesehatan, kemudian datanglah kehamilan, persalinan atau nifas yang dapat
memperberat kondisi kesehatan/penyakitnya sehingga ibu meninggal dunia.
Grafik 1. Perkembangan Angka Kematian Ibu (MMR)
di Indonesia (Kemenkes RI).
Angka Kematian Maternal (Maternal Mortality Ratio / MMR)
atau di Indonesia sering disebut sebagai Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi
sorotan terkait sulitnya mencapai target MDGs tahu 2015. Salah satu target MDGs
yang ingin dicapai adalah target MDG ke 5 yaitu menurunkan angka kematian
maternal sebanyak tiga per empat dari kondisi tahun 1990 atau menurunkan Angka
Kematian Ibu menjadi 102/100.000 kelahiran hidup. Kondisi AKI Indonesia saat
ini adalah 359/100.000 kelahiran hidup sesuai hasil Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012. AKI Indonesia termasuk salah satu yang
tertinggi di Asia. Penting bagi kita untuk mengenal beberapa penyebab kematian
ibu agar dapat melakukan upaya-upaya pencegahan.
Pada tahun 2015, untuk mencapai
Millennium Development Goals (MDGs)
ditargetkan angka kematian ibu (AKI) sebesar 102 per 100.000 kelahiran
hidup, dan angka kematian bayi (AKB) menjadi
23 per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan data Departemen kesehatan RI, angka
kematian ibu masih banyak disebabkan para ibu hamil tidak mempunyai akses untuk pergi kebidan
atau dokter yang ada didaerah. Rata-rata 10% ibu di Indonesia tidak pernah
memeriksakan kandungannya ketenaga kesehatan dan 30% ibu tidak melahirkan pada tenaga
kesehatan mereka lebih memilih untuk
melahirkan pada dukun (Depkes, 2010).
B.
Indikator Angka Kematian
Maternal
Angka Kematian
Maternal (AKI) dihitung berdasarkan jumlah seluruh kematian maternal selama
periode 1 tahun (Januari s/d Desember) per 100.000 kelahiran hidup di suatu
wilayah (misal: suatu provinsi atau kab/kota). AKI nasional (Indonesia)
dihitung berdasarkan rata-rata AKI seluruh provinsi (33 provinsi).
Tinggi rendahnya
Angka Kematian Maternal di suatu wilayah seringkali dijadikan indikator
(patokan) yang menggambarkan besarnya masalah kesehatan (penyakit-penyakit),
kualitas pelayanan kesehatan dan sumber daya di suatu wilayah. Bila MMR suatu
wilayah/negara semakin tinggi, maka dapat diasumsikan semakin buruknya kondisi
kesehatan, pelayanan kesehatan dan sumber daya di wilayah tersebut. Selain itu
Angka Kematian Maternal dijadikan indikator utama oleh dunia internasional
dalam menentukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM atau Human Development
Index / HDI) suatu negara. Tinggi rendahnya IPM suatu negara digunakan
untuk mengklasifikasi apakah suatu negara apakah termasuk kelompok maju,
berkembang atau terbelakang.
C.
Penyebab Kematian Maternal
Penyebab
Kematian Maternal di Indonesia:
Menurut
hasil Survei Kesehatan Rumah tangga (SKRT) tahun 2001, penyebab kematian
maternal didominasi oleh perdarahan (27%) dan Eklampsia (23%), selengkapnya
dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.
Grafik 2. Penyebab Kematian Ibu di Indonesia,
2001 (SKRT, 2001)
Penyebab kematian maternal di Rumah Sakit:
Tabel 10 besar penyebab kematian maternal di
Rumah Sakit Indonesia, tahun 2009 (Kementerian Kesehatan RI).
2. Faktor
yang mempengaruhi Mortalitas dan Morbiditas pada Maternal
Mortalitas
dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara
berkembang. Kematian maternal menurut batasan dari The Tenth Revision of The
International Classification of Diseases (ICD – 10) adalah kematian wanita
yang terjadi pada saat kehamilan atau dalam 42 hari setelah berakhirnya
kehamilan, tidak tergantung dari lama dan lokasi kehamilan, disebabkan
oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan, atau yang diperberat oleh
kehamilan tersebut, atau penanganannya, akan tetapi bukan kematian yang
disebabkan oleh kecelakaan atau kebetulan. Angka kematian maternal merupakan
indikator yang mencerminkan status kesehatan ibu, terutama risiko kematian bagi
ibu pada waktu hamil dan melahirkan. Kematian maternal merupakan masalah
kompleks yang tidak hanya memberikan pengaruh pada para wanita saja, akan
tetapi juga mempengaruhi keluarga bahkan masyarakat sekitar.
Kematian
– kematian yang terjadi akibat kecelakaan atau kebetulan tidak dimasukkan ke
dalam kematian maternal. Meskipun demikian, dalam praktiknya, perbedaan antara
kematian yang terjadi karena kebetulan dan kematian karena sebab tidak langsung
sulit dilakukan. Untuk memudahkan identifikasi kematian maternal pada keadaan –
keadaan dimana sebab – sebab yang dihubungkan dengan kematian tersebut tidak
adekuat, maka ICD – 10 memperkenalkan kategori baru yang disebut pregnancy –
related death (kematian yang dihubungkan dengan kehamilan) yaitu
kematian wanita selama hamil atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan,
tidak tergantung dari penyebab kematian.
Depkes
RI membagi faktor – faktor yang
mempengaruhi kematian maternal sebagai berikut :
1. Faktor medik
a.
Faktor empat terlalu, yaitu :
- Usia
ibu pada waktu hamil terlalu muda (kurang dari 20 tahun)Pada umur kurang dari
20 tahun, rahim dan panggul seringkali belum tumbuh mencapai ukuran dewasa.
Akibatnya ibu hamil pada usia itu mungkin mengalami persalinan lama atau macet,
atau gangguan lainnya.
- Usia
ibu pada waktu hamil terlalu tua (lebih dari 35 tahun)Pada umur 35 tahun atau
lebih, kesehatan ibu sudah menurun akibatnya
ibu hamil pada usia itu mempunyai kemungkinan lebih besar untuk
mempunyai anak cacat, persalinan lama dan perdarahan. Disamping itu pada wanita
usia >35 tahun sering terjadi kekakuan pada bibir rahim sehingga menimbulkan
perdarahan hebat yang bila tidak segera diatasi dapat menyebabkan kematian ibu.
- Jumlah
anak terlalu banyak (lebih dari 4 orang)
- Jarak
antar kehamilan terlalu dekat (kurang dari 2 tahun)
Apabila terjadi kehamilan sebelum 2 tahun, kesehatan ibu
akan mundur secara progresif. Jarak yang aman bagi wanita untuk melahirkan
kembali paling sedikit 2 tahun. Hal ini agar wanita dapat pulih setelah masa
kehamilan dan laktasi. Ibu yang hamil lagi sebelum 2 tahun sejak kelahiran anak
terakhir seringkali mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan. Wanita
dengan jarak kelahiran <2 tahun mempunyai risiko dua kali lebih besar
mengalami kematian dibandingkan jarak kelahiran yang lebih lama (Royston dan Amstrong,
1994).
b.
Komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas yang merupakan penyebab langsung
kematian maternal, yaitu :
- Perdarahan
pervaginam, khususnya pada kehamilan trimester ketiga, persalinan dan pasca
persalinan
- Infeksi.
- Keracunan
kehamilan.
- Komplikasi
akibat partus lama.
- Trauma
persalinan.
c.
Beberapa keadaan dan gangguan yang memperburuk derajat kesehatan ibu selama
hamil, antara lain :
-
Kekurangan gizi dan anemia.
-
Bekerja (fisik) berat selama kehamilan.
2. Faktor non medik
Faktor
non medik yang berkaitan dengan ibu, dan menghambat upaya penurunan kesakitan
dan kematian maternal adalah :
- Kurangnya
kesadaran ibu untuk mendapatkan pelayanan antenatal.
- Terbatasnya
pengetahuan ibu tentang bahaya kehamilan risiko tinggi.
- Ketidak
– berdayaan sebagian besar ibu hamil di pedesaan dalam pengambilan keputusan
untuk dirujuk.
- Ketidakmampuan
sebagian ibu hamil untuk membayar biaya transport dan perawatan di rumah sakit.
3. Faktor pelayanan kesehatan
Ø Faktor
pelayanan kesehatan yang belum mendukung upaya penurunan kesakitan dan kematian
maternal antara lain berkaitan dengan cakupan pelayanan KIA, yaitu :
- Belum
mantapnya jangkauan pelayanan KIA dan penanganan kelompok berisiko.
- Masih
rendahnya (kurang lebih 30%) cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan.
- Masih
seringnya (70 – 80%) pertolongan persalinan yang dilakukan di rumah, oleh dukun
bayi yang tidak mengetahui tanda – tanda bahaya.
Ø Berbagai
aspek manajemen yang belum menunjang antara lain adalah :
- Belum
semua kabupaten memberikan prioritas yang memadai untuk program KIA
- Kurangnya
komunikasi dan koordinasi antara Dinkes Kabupaten, Rumah Sakit Kabupaten dan
Puskesmas dalam upaya kesehatan ibu.
- Belum
mantapnya mekanisme rujukan dari Puskesmas ke Rumah Sakit Kabupaten atau
sebaliknya.
Ø Berbagai
keadaan yang berkaitan dengan ketrampilan pemberi pelayanan KIA juga masih
merupakan faktor penghambat, antara lain :
- Belum
diterapkannya prosedur tetap penanganan kasus gawat darurat kebidanan secara
konsisten.
- Kurangnya
pengalaman bidan di desa yang baru ditempatkan di Puskesmas dan bidan praktik
swasta untuk ikut aktif dalam jaringan sistem rujukan saat ini.
- Terbatasnya
ketrampilan dokter puskesmas dalam menangani kegawatdaruratan kebidanan.
- Kurangnya
upaya alih teknologi tepat (yang sesuai dengan permasalahan setempat) dari
dokter spesialis RS Kabupaten kepada dokter atau bidan Puskesmas.
Semakin
banyak ditemukan faktor risiko pada seorang ibu hamil, maka semakin tinggi
risiko kehamilannya. Tingginya angka kematian maternal di Indonesia sebagian
besar disebabkan oleh timbulnya penyulit persalinan yang tidak dapat segera
dirujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih mampu. Faktor waktu dan transportasi
merupakan hal yang sangat menentukan dalam merujuk kasus risiko tinggi
McCarthy
dan Maine (1992) mengemukakan adanya 3 faktor yang berpengaruh terhadap proses
terjadinya kematian maternal. Proses yang paling dekat terhadap kejadian
kematian maternal, disebut sebagai determinan dekat yaitu kehamilan itu sendiri
dan komplikasi yang terjadi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas
(komplikasi obstetri). Determinan dekat secara langsung dipengaruhi oleh
determinan antara yaitu status kesehatan ibu, status reproduksi, akses ke
pelayanan kesehatan, perilaku perawatan kesehatan atau penggunaan pelayanan kesehatan
dan faktor – faktor lain yang tidak diketahui atau tidak terduga. Di lain
pihak, terdapat juga determinan jauh yang akan mempengaruhi kejadian kematian
maternal melalui pengaruhnya terhadap determinan antara, yang meliputi faktor
sosio – kultural dan faktor ekonomi, seperti status wanita dalam keluarga dan
masyarakat, status keluarga dalam masyarakat dan status masyarakat.
Hasil
beberapa penelitian yang berhubungan dengan faktor risiko kematian maternal di
Indonesia maupun di negara lain menunjukkan bahwa kematian maternal dipengaruhi
oleh faktor – faktor yang berhubungan dengan faktor ibu, faktor status
reproduksi, faktor yang berhubungan dengan komplikasi obstetrik, faktor yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan, faktor sosial ekonomi dan faktor sosial
budaya.
Faktor
– Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kematian Maternal
Faktor
– faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal, yang
dikelompokkan
berdasarkan kerangka dari McCarthy dan Maine (1992) adalah sebagai berikut :
1. Determinan
dekat
Proses yang paling dekat
terhadap kejadian kematian maternal adalah kehamilan itu sendiri dan komplikasi
dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas. Wanita yang hamil memiliki risiko
untuk mengalami komplikasi, baik komplikasi kehamilan maupun persalinan, sedangkan
wanita yang tidak hamil tidak memiliki risiko tersebut.
a. Komplikasi
kehamilan
Komplikasi
kehamilan merupakan penyebab langsung kematian maternal. Komplikasi kehamilan
yang sering terjadi yaitu perdarahan, preeklamsia / eklamsia, dan infeksi.
·
Perdarahan
Sebab – sebab perdarahan yang berperan penting dalam
menyebabkan kematian maternal selama kehamilan adalah perdarahan, baik yang
terjadi pada usia kehamilan muda atau trimester pertama, yaitu perdarahan
karena abortus (termasuk di dalamnya adalah abortus provokatus karena kehamilan
yang tidak diinginkan) dan perdarahan karena kehamilan ektopik terganggu (KET),
maupun perdarahan yang terjadi pada kehamilan lanjut akibat perdarahan
antepartum. Penyebab perdarahan antepartum pada umumnya adalah plasenta previa
dan solusio plasenta.
1. Perdarahan
karena abortus
Abortus adalah keadaan dimana terjadi
berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan, atau
keluarnya janin dengan berat kurang dari 500 gram atau usia kehamilan kurang
dari 20 minggu. Abortus spontan diperkirakan terjadi pada 15% dari keseluruhan
kehamilan, dan kasus – kasus kematian yang ada disebabkan oleh upaya – upaya
mengakhiri kehamilan secara paksa. Menurut perkiraan WHO, terdapat 20 juta
kasus abortus tak aman atau berisiko (unsafe abortion) di seluruh dunia
pertahun. Setiap tahun terjadi 70.000 kematian maternal akibat abortus
berisiko, dan satu dari 8 kematian yang berkaitan dengan kehamilan, diakibatkan
oleh abortus berisiko. Komplikasi yang berbahaya pada abortus ialah perdarahan,
perforasi uterus, infeksi, syok hemoragik dan syok septik. Komplikasi
fatal juga dapat terjadi akibat bendungan sistem pembuluh darah oleh
bekuan darah, gelembung udara atau cairan, gangguan mekanisme pembekuan
darah yang berat (koagulasi intravaskuler diseminata) dan keracunan obat
– obat abortif yang menimbulkan gagal ginjal.
Perdarahan
pada abortus dapat disebabkan oleh abortus yang tidak lengkap atau cedera pada
organ panggul atau usus. Perdarahan yang berat atau perdarahan yang bersifat persisten
selama terjadinya abortus atau yang mengikuti kejadian abortus dapat mengancam
jiwa ibu. Semakin bertambah usia kehamilan, semakin besar kemungkinan
terjadinya kehilangan darah yang berat. Insidensi abortus dipengaruhi oleh usia
ibu dan sejumlah faktor yang terkait dengan kehamilan, termasuk riwayat jumlah
persalinan normal sebelumnya, jumlah abortus spontan yang terjadi sebelumnya,
apakah pernah terjadi lahir mati (stillbirth). Selain itu, risiko ini
dipengaruhi juga oleh ada atau tidaknya fasilitas kesehatan yang mampu
memberikan pelayanan maternal yang memadai, kemiskinan, keterbelakangan dan
sikap kurang peduli, sehingga dapat menambah angka kejadian abortus (abortus
tidak aman). Komplikasi medis dari ibu juga dapat mempengaruhi angka abortus
spontan.
2. Perdarahan
karena kehamilan ektopik terganggu
Kehamilan
ektopik merupakan kehamilan yang terjadi dan tumbuh di luar endometrium cavum
uteri. Pada kehamilan ektopik, sel telur yang telah dibuahi tertanam, tumbuh
dan berkembang di luar uterus. Kehamilan ektopik merupakan penyebab perdarahan
berat yang penting. Kehamilan ektopik ini sebagian berkaitan dengan semakin
tingginya insidensi salpingitis atau penyakit menular seksual yang menginfeksi
tuba, peningkatan induksi ovulasi, peningkatan penggunaan metode kontrasepsi
yang mencegah kehamilan intrauterin akan tetapi tidak mencegah kehamilan
ekstrauterin, kegagalan sterilisasi tuba, induksi aborsi yang diikuti dengan
infeksi, meningkatnya usia ibu, dan operasi pelvis sebelumnya, termasuk
salpingotomi karena kehamilan ektopik pada kehamilan sebelumnya. Kehamilan
ektopik merupakan penyebab penting dari kesakitan dan kematian maternal, karena
tempat tumbuh janin yang abnormal ini mudah mengakibatkan gangguan berupa
ruptur tuba, karena janin semakin membesar di tempat yang tidak memadai
(biasanya terjadi pada kehamilan 6 – 10 minggu). Hal ini akan mengakibatkan
perdarahan yang terkumpul dalam rongga perut dan menimbulkan rasa nyeri
setempat atau menyeluruh yang berat, disertai pingsan dan syok. Tanpa pengobatan,
kehamilan ektopik dapat menjadi fatal hanya dalam waktu beberapa jam, sehingga
mengancam kehidupan ibu.
3. Perdarahan
antepartum
Perdarahan
antepartum adalah perdarahan pervaginam yang terjadi pada kehamilan antara 28
minggu sampai sebelum bayi lahir. Perdarahan antepartum merupakan keadaan gawat
darurat kebidanan yang dapat mengakibatkan kematian pada ibu maupun janin dalam
waktu singkat. Penyebab perdarahan antepartum yang berbahaya pada umumnya
bersumber pada kelainan plasenta, yaitu plasenta previa dan solusio plasenta,
sedangkan perdarahan antepartum yang tidak bersumber pada kelainan plasenta,
misalnya perdarahan akibat kelainan pada serviks uteri dan vagina (trauma,
erosio porsionis uteri, polipus servisis uteri, varises vulva) pada umumnya tidak
seberapa berbahaya, karena kehilangan darah yang terjadi relatif sedikit dan
tidak membahayakan nyawa ibu dan janin, kecuali perdarahan akibat karsinoma
invasif cervisis uteri.
Plasenta
previa adalah keadaan dimana plasenta terletak abnormal yaitu pada segmen bawah
uterus, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum.
Keadaan ini mengakibatkan perdarahan pervaginam pada kehamilan 28 minggu atau
lebih, karena segmen bawah uterus telah terbentuk, dan dengan bertambah tuanya
kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar dan serviks mulai membuka.
Pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks akan menyebabkan
terlepasnya sebagian plasenta dari dinding uterus, sehingga mengakibatkan
perdarahan. Perdarahan ini tidak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan
serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan.
Perdarahan yang terjadi tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala
utama dan pertama dari plasenta previa. Perdarahan yang terjadi pertama kali
pada umumnya sangat ringan dan segera berhenti, yang disusul dengan perdarahan
berikutnya, dan biasanya terjadi semakin berat. Darah berwarna merah segar,
berlainan dengan perdarahan pada solusio plasenta yang berwarna kehitaman.
Makin rendah letak plasenta, makin dini perdarahan terjadi. Insidensi plasenta
previa meningkat dengan semakin bertambahnya usia ibu, paritas yang tinggi,
abortus yang diinduksi, dan riwayat seksio sesaria pada kehamilan sebelumnya.
Kematian maternal terjadi akibat perdarahan dan syok hipovolemik, dan juga
akibat trauma operatif, infeksi atau akibat embolisme.
Ketersediaan
darah sebagai obat untuk mengatasi perdarahan yang belum selalu ada atau cukup
tersedia di rumah sakit, kurangnya kesadaran akan bahaya perdarahan atau
sukarnya pengangkutan cepat ke rumah sakit mengakibatkan keterlambatan
pertolongan penderita, sehingga penanggulangan menjadi tidak berhasil. Angka
kematian maternal dapat diturunkan menjadi kurang dari 1% dengan melaksanakan
manajemen persalinan yang baik, antara lain dengan segera mengirim penderita ke
rumah sakit yang memiliki fasilitas transfusi darah dan fasilitas operasi.
Solusio plasenta merupakan keadaan terlepasnya plasenta dari tempat insersinya
yang normal, diantara usia kehamilan 28 minggu sampai sebelum janin lahir.
Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau pembuluh darah
uterus yang akan membentuk hematoma, sehingga plasenta terdesak dan akhirnya
terlepas. Pada umumnya perdarahan akan berlangsung terus – menerus, oleh karena
otot uterus yang telah meregang oleh kehamilan tidak mampu untuk lebih
berkontraksi untuk menghentikan perdarahan.
Perdarahan
antepartum dan intrapartum tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan
persalinan dengan segera. Akibat solusio plasenta, juga dapat terjadi
perdarahan post partum karena kontraksi uterus yang tidak adekuat untuk
menghentikan perdarahan pada kala III. Perfusi ginjal akan terganggu karena
terjadi syok hipovolemia, penyempitan pembuluh darah ginjal akibat perdarahan
yang banyak dan karena terjadinya kelainan pembekuan darah. Etiologi pasti dari
solusio plasenta belum diketahui dengan pasti. Insidensi solusio plasenta
meningkat sesuai dengan pertambahan usia ibu, multiparitas, riwayat solusio
plasenta pada kehamilan sebelumnya, penyakit hipertensi menahun, preeklamsia,
trauma eksternal, distensi uterus misal pada kehamilan multipel atau
hidramnion, mioma uteri, dan tali pusat pendek. Angka kematian maternal akibat
solusio plasenta bervariasi antara 0,5% - 5%. Sebagian besar ibu meninggal akibat
perdarahan, baik perdarahan segera atau tertunda atau akibat gagal jantung dan
gagal ginjal.
·
Preeklamsia atau eklamsia
Kehamilan
dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pada wanita yang sebelum kehamilannya
memiliki tekanan darah normal (normotensi) atau dapat memperberat keadaan
hipertensi yang sebelumnya telah ada. Hipertensi pada kehamilan merupakan
keadaan pada masa kehamilan yang ditandai dengan terjadinya kenaikan tekanan
darah lebih dari 140 / 90 mmHg atau kenaikan tekanan darah sistolik lebih dari
30 mmHg dan atau diastolik lebih dari 15 mmHg. Hipertensi pada kehamilan yang
sering dijumpai adalah preeklamsia dan eklamsia. Preeklamsia berat dan
khususnya eklamsia merupakan keadaan gawat karena dapat mengakibatkan kematian
ibu dan janin. Preeklamsia ringan dapat mudah berubah menjadi preeklamsia
berat, dan preeklamsia berat mudah menjadi eklamsia dengan timbulnya kejang.
Tanda khas preeklamsia adalah tekanan darah yang tinggi, ditemukannya protein
dalam urin dan pembengkakan jaringan (edema) selama trimester kedua kehamilan.
Pada beberapa kasus, keadaan tetap ringan sepanjang kehamilan, akan tetapi pada
kasus yang lain, dengan meningkatnya tekanan darah dan jumlah protein urin,
keadaan dapat menjadi berat. Terjadi nyeri kepala, muntah, gangguan penglihatan,
dan kemudian anuria. Pada stadium akhir dan paling berat terjadi eklamsia,
pasien akan mengalami kejang. Jika preeklamsia atau eklamsia tidak ditangani
secara cepat, akan terjadi kehilangan kesadaran dan kematian maternal karena
kegagalan jantung, kegagalan ginjal, kegagalan hati atau perdarahan otak.
Faktor
predisposisi preeklamsia dan eklamsia adalah nullipara, usia ibu kurang dari 20
tahun atau lebih dari 35 tahun, status ekonomi kurang, kehamilan kembar,
diabetes melitus, hipertensi kronis dan penyakit ginjal sebelumnya. Kematian
maternal akibat hipertensi pada kehamilan sering terjadi (merupakan 12% dari
seluruh penyebab kematian maternal) dan membentuk satu dari tiga trias penyebab
utama kematian maternal, yaitu perdarahan dan infeksi.
·
Infeksi pada kehamilan
Infeksi
pada kehamilan adalah infeksi jalan lahir pada masa kehamilan, baik pada
kehamilan muda maupun tua. Infeksi dapat terjadi oleh sebab langsung yang
berkaitan dengan kehamilan, atau akibat infeksi lain di sekitar jalan lahir.
Infeksi pada kehamilan muda adalah infeksi jalan lahir yang terjadi pada
kehamilan kurang dari 20 – 22 minggu. Penyebab yang paling sering terjadi
adalah abortus yang terinfeksi. Infeksi jalan lahir pada kehamilan tua adalah
infeksi yang terjadi pada kehamilan trimester II dan III. Infeksi jalan lahir
ini dapat terjadi akibat ketuban pecah sebelum waktunya, infeksi saluran
kencing, misalnya sistitis, nefritis atau akibat penyakit sistemik, seperti
malaria, demam tifoid, hepatitis, dan lain – lain.Infeksi jalan lahir dapat
juga terjadi selama persalinan (intrapartum) atau sesudah persalinan
(postpartum). Keadaan ini berbahaya
karena dapat mengakibatkan sepsis, yang mungkin menyebabkan kematian ibu.
Sepsis menyebabkan kematian maternal sebesar 15%.
Pada
abortus yang tidak lengkap (abortus inkomplitus), dimana sebagian hasil
konsepsi masih tertinggal dalam uterus, dan pada abortus buatan yang dilakukan
tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis, sering mengakibatkan komplikasi
berupa infeksi (abortus infeksiosus). Jika infeksi tidak diatasi, dapat terjadi
infeksi yang menyeluruh (terjadi penyebaran kuman atau toksin ke dalam
peredaran darah atau peritoneum) sehingga menimbulkan abortus septik. Pada
abortus septik, virulensi bakteri tinggi, dan infeksi menyebar ke miometrium,
tuba, parametrium, dan peritoneum. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, dapat
terjadi peritonitis umum atau sepsis, pasien dapat mengalami syok septik.
Kematian maternal akibat abortus septik sangat tinggi di negara – negara
berkembang, dimana tidak terdapat akses terhadap abortus yang diinduksi dan hal
tersebut merupakan hal yang ilegal.
Risiko
kematian maternal akibat abortus septik meningkat pada wanita – wanita yang
tidak menikah, wanita usia muda, dan pada mereka yang melakukan prosedur aborsi
yang tidak secara langsung mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam
uterus.Infeksi pada kehamilan trimester II dan III dapat mengakibatkan
korioamnionitis. Korioamnionitis merupakan komplikasi serius yang dapat
mengancam jiwa ibu dan janinnya. Mikroorganisme penyebab pada umumnya adalah
streptococcus B dan D dan bakteri anaerob. Tanda dari infeksi ini adalah cairan
amnion kotor dan berbau busuk, demam, lekositosis, uterus melunak, dan
takikardi.
b. Komplikasi
persalinan dan nifas
Komplikasi
yang timbul pada persalinan dan masa nifas merupakan penyebab langsung kematian
maternal. Komplikasi yang terjadi menjelang persalinan, saat dan setelah
persalinan terutama adalah perdarahan, partus macet atau partus lama dan
infeksi akibat trauma pada persalinan.
·
Perdarahan
Perdarahan,
terutama perdarahan postpartum memberikan kontribusi 25% pada kematian
maternal, khususnya bila ibu menderita anemia akibat keadaan kurang gizi atau
adanya infeksi malaria. Insidensi perdarahan postpartum berkisar antara 5 –
8%.Perdarahan ini berlangsung tiba – tiba dan kehilangan darah dapat dengan
cepat menjadi kematian pada keadaan dimana tidak terdapat perawatan awal untuk
mengendalikan perdarahan, baik berupa obat, tindakan pemijatan uterus untuk
merangsang kontraksi, dan transfusi darah bila diperlukan.Perdarahan postpartum
adalah perdarahan yang terjadi setelah anak lahir dan jumlahnya melebihi 500
ml. Perdarahan dapat terjadi sebelum, saat atau setelah plasenta keluar. Hal –
hal yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah atonia uteri, perlukaan jalan
lahir, terlepasnya sebagian plasenta dari uterus, tertinggalnya sebagian dari
plasenta, dan kadang – kadang perdarahan juga disebabkan oleh kelainan proses
pembekuan darah akibat hipofibrinogenemia yang terjadi akibat solusio plasenta,
retensi janin mati dalam uterus dan emboli air ketuban.
·
Partus Lama
Partus
lama dapat membahayakan jiwa janin dan ibu. Partus lama adalah persalinan yang
berlangsung lebih dari 18 jam sejak in partu.. Keadaan ini sering disebabkan
oleh disproporsi sefalopelvik (bila kepala janin tidak dapat melewati rongga
pelvis) atau pada letak tak normal (bila terjadi kesalahan letak janin untuk
melewati jalan lahir). Disproporsi lebih sering terjadi bila terdapat keadaan
endemis kurang gizi, terutama pada populasi yang masih menganut pantangan dan
tradisi yang mengatur soal makanan pada para gadis dan wanita dewasa. Keadaan
ini diperburuk lagi bila gadis – gadis menikah muda dan diharapkan untuk segera
memiliki anak, sedangkan pertumbuhan mereka belum optimal. Pada keadaan
disproporsi sefalopelvik, persalinan yang dipaksakan dapat mengakibatkan
ruptura uteri. Ruptura uteri merupakan keadaan dimana terjadi robekan pada
uterus karena sebab tertentu.Ruptura uteri menyebabkan kematian maternal
sebesar 10 – 40%.Robekasn uterus akan menyebabkan rasa nyeri yang hebat
disertai nyeri tekan, diikuti dengan perdarahan hebat dari pembuluh darah
uterus yang robek dan kematian dapat timbul dalam 24 jam sebagai akibat
perdarahan dan syok, atau akibat infeksi yang timbul kemudian.
·
Infeksi Nifas
Infeksi
nifas merupakan keadaan yang mencakup semua peradangan yang disebabkan oleh
masuknya kuman - kuman ke dalam alat genital pada waktu persalinan dan nifas.
Kuman penyebab infeksi dapat masuk ke dalam saluran genital dengan berbagai
cara, misal melalui tangan penolong persalinan yang tidak bersih atau
penggunaan instrumen yang kotor. Mula – mula infeksi terbatas pada uterus,
dimana terdapat rasa nyeri dan nyeri tekan pada perut bagian bawah, dengan
cairan vagina yang berbau busuk. Demam, nyeri perut yang bertambah, muntah,
nyeri kepala dan kehilangan nafsu makan menandakan terjadinya penyebaran
infeksi ke tempat lain. Selanjutnya dapat terjadi abses di tuba fallopii,
panggul dan diafragma bagian bawah. Pada kasus yang berat, infeksi dapat menyebar
ke dalam aliran darah (septikemia), menimbulkan abses dalam otak, otot dan
ginjal. Jika infeksi tidak dikendalikan, selanjutnya dapat terjadi gangguan
mental dan koma.
Infeksi
nifas menyebabkan morbiditas dan mortalitas bagi ibu pasca persalinan.Kematian
terjadi karena berbagai komplikasi, termasuk syok, gagal ginjal, gagal hati,
dan anemia. Beberapa faktor predisposisi infeksi nifas adalah keadaan kurang
gizi, anemia, higiene persalinan yang buruk, kelelahan ibu, sosial ekonomi
rendah, proses persalinan yang bermasalah, seperti partus lama / macet,
korioamnionitis, persalinan traumatik, manipulasi yang berlebihan dan kurang
baiknya proses pencegahan infeksi.
2. Determinan
antara
a. Status
kesehatan ibu
Status
kesehatan ibu yang berpengaruh terhadap kejadian kematian maternal meliputi
status gizi, anemia, penyakit yang diderita ibu, dan riwayat komplikasi pada
kehamilan dan persalinan sebelumnya. Status gizi ibu hamil dapat dilihat dari
hasil pengukuran terhadap lingkar lengan atas (LILA). Pengukuran LILA bertujuan
untuk mendeteksi apakah ibu hamil termasuk kategori kurang energi kronis (KEK)
atau tidak. Ibu dengan status gizi buruk memiliki risiko untuk terjadinya
perdarahan dan infeksi pada masa nifas. Keadaan kurang gizi sebelum dan selama
kehamilan memberikan kontribusi terhadap rendahnya kesehatan maternal, masalah
dalam persalinan dan masalah pada bayi yang dilahirkan.Stunting yang
dialami selama masa kanak – kanak, yang merupakan hasil dari keadaan kurang
gizi berat akan memaparkan seorang wanita terhadap risiko partus macet yang
berkaitan dengan adanya disproporsi sefalopelvik.
Anemia merupakan masalah penting yang harus
diperhatikan selama kehamilan. Menurut WHO, seorang ibu hamil dikatakan
menderita anemia jika kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 11g/dl. Anemia dapat
disebabkan oleh berbagai sebab, yang dapat saling berkaitan, yaitu intake yang
kurang adekuat, infestasi parasit, malaria, defisiensi zat besi, asam folat dan
vitamin A. Menurut WHO, 40% kematian ibu di negara berkembang berkaitan dengan
anemia dalam kehamilan. Anemia defisiensi besi merupakan 95% penyebab anemia
selama kehamilan. Kurang lebih 50% dari seluruh ibu hamil di seluruh dunia
menderita anemia. Wanita yang menderita anemia berat akan lebih rentan terhadap
infeksi selama kehamilan dan persalinan, akan meningkatkan risiko kematian
akibat perdarahan dan akan memiliki risiko terjadinya komplikasi operatif bila
dibutuhkan persalinan dengan seksio sesaria.
Penyakit
degeneratif lebih sering terjadi, sementara penyakit infeksi dan parasit juga
masih memegang peranan. Penyakit tuberkulosis masih mendominasi, dan penyakit
ini memberikan kontribusi kematian sebesar 8,6% (SKRT 1986) dan 9,8% (SKRT
1992). Kehamilan dengan penyakit tuberkulosis masih tinggi, akan tetapi
memiliki prognosis baik bila diobati secara dini. Penyakit jantung merupakan
penyebab nonobstetrik penting yang menyebabkan kematian maternal, dan terjadi
pada 0,4 – 4% kehamilan. Angka kematian maternal bervariasi dari 0,4% pada
pasien – pasien dengan klasifikasi New York Heart Association (NYHA)
I dan II dan 6,8% atau lebih pada pasien dengan NYHA III dan IV. Keadaan ini
disebabkan oleh adanya peningkatan beban hemodinamik selama kehamilan dan
persalinan, yang akan memperberat gejala dan mempercepat terjadinya komplikasi
pada wanita yang sebelumnya telah menderita penyakit jantung. Prognosis bagi
wanita hamil dengan penyakit jantung tergantung dari beratnya penyakit, usia
penderita dan penyulit – penyulit lain yang tidak berasal dari jantung.
Penyebab
kematian maternal tidak langsung lain yang penting meliputi malaria, hepatitis,
HIV / AIDS, diabetes melitus, bronkopneumonia. Riwayat obstetri yang buruk
seperti persalinan dengan tindakan, perdarahan, partus lama, bekas seksio
sesaria akan mempengaruhi kematian maternal.3) 15% persalinan yang terjadi di
negara berkembang merupakan persalinan dengan tindakan, dalam hal ini seksio
sesaria paling sering dilakukan.48) Semua persalinan dengan tindakan memiliki
risiko, baik terhadap ibu maupun bayinya. Sebagian risiko timbul akibat sifat
dari tindakan yang dilakukan, sebagian karena prosedur lain yang menyertai,
seperti anestesi dan transfusi darah, dan sebagian lagi akibat komplikasi
kehamilan, yang memaksa dilakukannya tindakan. Disamping itu, dapat pula timbul
komplikasi, termasuk perdarahan dan infeksi yang berat.
b. Status
reproduksi
Status
reproduksi yang berperan penting terhadap kejadian kematian maternal adalah
usia ibu hamil, jumlah kelahiran, jarak kehamilan dan status perkawinan ibu.
Usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun merupakan usia berisiko untuk hamil
dan melahirkan. Risiko paling besar terdapat pada ibu berusia ≤ 14 tahun. Komplikasi
yang sering timbul pada kehamilan di usia muda adalah anemia, partus prematur,
partus macet.
Kekurangan
akses ke pelayanan kesehatan untuk mendapatkan perawatan kehamilan dan
persalinan merupakan penyebab yang penting bagi terjadinya kematian maternal di
usia muda. Keadaan ini diperburuk oleh kemiskinan dan kebuta – hurufan,
ketidaksetaraan kedudukan antara pria dan wanita, pernikahan usia muda dan
kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan di atas usia 35 tahun menyebabkan
wanita terpapar pada komplikasi medik dan obstetrik, seperti risiko terjadinya
hipertensi kehamilan, diabetes, penyakit kardiovaskuler, penyakit ginjal dan
gangguan fungsi paru. Kejadian perdarahan pada usia kehamilan lanjut meningkat
pada wanita yang hamil di usia > 35 tahun, dengan peningkatan insidensi
perdarahan akibat solusio plasenta dan plasenta previa.
Persalinan
dengan seksio sesaria pada kehamilan di usia lebih dari 35 tahun juga
meningkat, hal ini terjadi akibat banyak faktor, seperti hipertensi kehamilan,
diabetes, persalinan prematur dan penyebab kelainan pada plasenta. Menurut
hasil SKRT 2001, proporsi kematian maternal tertinggi terdapat pada ibu yang berusia
> 34 tahun dan paritas > 4 (18,4%). Jarak antar kehamilan yang terlalu
dekat (kurang dari 2 tahun) dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya kematian
maternal. Persalinan dengan interval kurang dari 24 bulan (terlalu sering)
secara nasional sebesar 15%, dan merupakan kelompok risiko tinggi untuk
perdarahan postpartum, kesakitan dan kematian ibu. Jarak antar kehamilan yang
disarankan pada umumnya adalah paling sedikit dua tahun, untuk memungkinkan
tubuh wanita dapat pulih dari kebutuhan ekstra pada masa kehamilan dan laktasi.
Status
perkawinan yang mendukung terjadinya kematian maternal adalah status tidak
menikah. Status ini merupakan indikator dari suatu kehamilan yang tidak
diharapkan atau direncanakan. Wanita dengan status perkawinan tidak menikah pada
umumnya cenderung kurang memperhatikan kesehatan diri dan janinnya selam
kehamilan dengan tidak melakukan pemeriksaan antenatal, yang mengakibatkan
tidak terdeteksinya kelainan yang dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi.
c. Akses
terhadap pelayanan kesehatan
Hal
ini meliputi antara lain keterjangkauan lokasi tempat pelayanan kesehatan,
dimana tempat pelayanan yang lokasinya tidak strategis atau sulit dicapai oleh
para ibu menyebabkan berkurangnya akses ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan,
jenis dan kualitas pelayanan yang tersedia dan keterjangkauan terhadap
informasi. Akses terhadap tempat pelayanan kesehatan dapat dilihat dari
beberapa faktor, seperti lokasi dimana ibu dapat memperoleh pelayanan
kontrasepsi, pemeriksaan antenatal, pelayanan kesehatan primer atau pelayanan
kesehatan rujukan yang tersedia di masyarakat.
Pada
umumnya kematian maternal di negara – negara berkembang, berkaitan dengan
setidaknya satu dari tiga keterlambatan (The Three Delay Models).
Keterlambatan yang pertama adalah keterlambatan dalam mengambil keputusan untuk
mencari perawatan kesehatan apabila terjadi komplikasi obstetrik. Keadaan ini
terjadi karena berbagai alasan, termasuk di dalamnya adalah keterlambatan dalam
mengenali adanya masalah, ketakutan pada rumah sakit atau ketakutan terhadap
biaya yang akan dibebankan di sana, atau karena tidak adanya pengambil
keputusan, misalnya keputusan untuk mencari pertolongan pada tenaga kesehatan
harus menunggu suami atau orang tua yang sedang tidak ada di tempat.
Keterlambatan kedua terjadi setelah keputusan untuk mencari perawatan kesehatan
diambil. Keterlambatan ini terjadi akibat keterlambatan dalam mencapai
fasilitas kesehatan dan pada umumnya terjadi akibat kesulitan transportasi.
Beberapa desa memiliki pilihan transportasi yang sangat terbatas dan fasilitas
jalan yang buruk. Kendala geografis di lapangan mengakibatkan banyak rumah
sakit rujukan tidak dapat dicapai dalam waktu dua jam, yaitu merupakan waktu
maksimal yang diperlukan untuk menyelamatkan ibu dengan perdarahan dari jalan
lahir. Keterlambatan ketiga yaitu keterlambatan dalam memperoleh perawatan di
fasilitas kesehatan. Seringkali para ibu harus menunggu selama beberapa jam di
pusat kesehatan rujukan karena manajemen staf yang buruk, kebijakan pembayaran
kesehatan di muka, atau kesulitan dalam memperoleh darah untuk keperluan
transfusi, kurangnya peralatan dan juga kekurangan obat – obatan yang penting,
atau ruangan untuk operasi. Pelaksanaan sistem pelayanan kebidanan yang baik
didasarkan pada regionalisasi pelayanan perinatal, dimana ibu hamil harus
mempunyai kesempatan pelayanan operatif dalam waktu tidak lebih dari satu jam
dan bayi harus dapat segera dilahirkan. Ketersediaan informasi, baik penyuluhan
maupun konseling penting diberikan agar ibu – ibu mengetahui bahaya yang dapat
terjadi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas, serta upaya menghindari
masalah itu. Keterlambatan dalam mengambil keputusan untuk dirujuk pada saat
terjadinya komplikasi obstetrik sering disebabkan oleh karena keterlambatan
dalam mengenali risiko atau bahaya, sehingga berakibat keterlambatan dalam
mencapai fasilitas kesehatan rujukan dan keterlambatan dalam memperoleh
pertolongan medis di rumah sakit. Namun diidentifikasi masih kurangnya
informasi dan konseling dari tenaga kesehatan kepada ibu. Kebanyakan petugas
menitikberatkan pada pemberian informasi / penyuluhan, akan tetapi kurang
melakukan konseling untuk membantu ibu memecahkan masalah. Hal ini disebabkan
petugas pada umumnya merasa kurang memiliki waktu untuk melakukan konseling karena
banyaknya ibu hamil yang dilayani. Selain itu pemberdayaan sarana komunikasi,
informasi dan edukasi (KIE) tentang kesehatan ibu masih sangat kurang, desa –
desa terpencil belum mengenal radio dan televisi.
d. Perilaku
penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan
Perilaku
penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan antara lain meliputi perilaku
penggunaan alat kontrasepsi, dimana ibu yang mengikuti program keluarga
berencana (KB) akan lebih jarang melahirkan dibandingkan dengan ibu yang tidak
ber KB, perilaku pemeriksaan antenatal, dimana ibu yang melakukan pemeriksaan
antenatal secara teratur akan terdeteksi masalah kesehatan dan komplikasinya,
penolong persalinan, dimana ibu yang ditolong oleh dukun berisiko lebih besar
untuk mengalami kematian dibandingkan dengan ibu yang melahirkan dibantu oleh
tenaga kesehatan, serta tempat persalinan, dimana persalinan yang dilakukan di
rumah akan menghambat akses untuk mendapatkan pelayanan rujukan secara cepat
apabila sewaktu – waktu dibutuhkan.
Program
KB berpotensi menyelamatkan kehidupan ibu, yaitu dengan cara memungkinkan
wanita untuk merencanakan kehamilan sedemikian rupa sehingga dapat menghindari
kehamilan pada usia tertentu atau jumlah persalinan yang membawa bahaya
tambahan, dan dengan cara menurunkan tingkat kesuburan secara umum, yaitu
dengan mengurangi jumlah kehamilan. Di samping itu, program KB dapat mengurangi
jumlah kehamilan yang tidak diinginkan sehingga mengurangi praktik pengguguran
yang ilegal, berikut kematian yang ditimbulkannya.
Pemeriksaan
antenatal adalah pemeriksaan kehamilan yang dilakukan untuk memeriksa keadaan
ibu dan janinnya secara berkala, yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap
penyimpangan yang ditemukan. Pemeriksaan antenatal dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang terlatih dan terdidik dalam bidang kebidanan, yaitu bidan,
dokter dan perawat yang sudah terlatih. Tujuannya adalah untuk menjaga agar ibu
hamil dapat melalui masa kehamilan, persalinan dan nifas dengan baik dan
selamat. Pemeriksaan antenatal dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan,
dengan ketentuan satu kali pada trimester pertama (usia kehamilan sebelum 14
minggu), satu kaliselama trimester kedua (antara 14 sampai dengan 28 minggu),
dan dua kali selama trimester ketiga (antara minggu 28 s/d 36 minggu dan
setelah 36 minggu).
Pemeriksaan
antenatal dilakukan dengan standar ‘5 T’ yang meliputi 1) timbang berat badan,
2) ukur tekanan darah, 3) ukur tinggi fundus uteri, 4) pemberian imunisasi
tetanus toksoid, dan 5) pemberian tablet tambah darah 90 tablet selama hamil.
Hasil SKRT 2001 menunjukkan bahwa proporsi ibu hamil yang pernah melakukan
pemeriksaan antenatal adalah sekitar 81%. Dilihat dari frekuensinya, mereka
yang melakukan pemeriksaan antenatal > 3 kali lebih banyak di perkotaan
(71%) dibandingkan di pedesaan (39%).Untuk itu diperlukan tenaga profesional
yang dapat secara cepat mengenali adanya komplikasi yang dapat mengancam jiwa
ibu dan sekaligus melakukan penanganan tepat waktu untuk menyelamatkan jiwa
ibu. Tenaga penolong persalinan yang terlatih merupakan salah satu teknik yang
paling penting dalam menurunkan angka kematian maternal di negara – negara yang
telah sukses menurunkan angka kematian maternal di negaranya. Meskipun bukti
telah menunjukkan bahwa penanganan persalinan oleh dokter, bidan dan perawat
merupakan faktor penting dalam menurunkan angka kematian maternal, hanya 58%
dari seluruh persalinan yang ditolong oleh tenaga yang terlatih.
Di
negara – negara sedang berkembang, hanya 53% wanita melahirkan dengan
pertolongan tenaga kesehatan (bidan atau dokter) dan hanya 40% yang melahirkan
di rumah sakit atau pusat kesehatan, dan diperkirakan 15% wanita hamil tersebut
akan mengalami komplikasi yang mengancam kehidupan, yang membutuhkan pelayanan
segera. Terdapat banyak faktor yang mendasari keadaan tersebut, antara lain
adalah kurangnya tenaga yang terlatih dan kurang terdistribusinya tenaga –
tenaga tersebut di daerah – daerah. Terdapat hubungan yang signifikan antara
tempat persalinan dengan kematian maternal, dimana semakin tinggi proporsi ibu
melahirkan di fasilitas non fasilitas kesehatan semakin tinggi risiko kematian
maternal dan bayi. Persalinan di rumah masih diminati oleh kelompok usia kurang
dari 20 tahun (85%) dibandingkan kelompok usia lain. Ibu di pedesaan masih
banyak (80%) yang melahirkan di rumah dibandingkan di perkotaan (48%). Proporsi
ibu yang melakukan persalinan di rumah, bukan di fasilitas kesehatan sebesar
70%.64)
3. Determinan
jauh
Meskipun determinan ini tidak secara
langsung mempengaruhi kematian maternal, akan tetapi faktor sosio kultural,
ekonomi, keagamaan dan faktor – faktor lain juga perlu dipertimbangkan dan
disatukan dalam pelaksanaan intervensi penanganan kematian maternal. Termasuk
dalam determinan jauh adalah status wanita dalam keluarga dan masyarakat, yang
meliputi tingkat pendidikan, dimana wanita yang berpendidikan tinggi cenderung
lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya, sedangkan wanita dengan
tingkat pendidikan yang rendah, menyebabkan kurangnya pengertian mereka akan
bahaya yang dapat menimpa ibu hamil maupun bayinya terutama dalam hal
kegawatdaruratan kehamilan dan persalinan. Ibu – ibu terutama di daerah
pedesaan atau daerah terpencil dengan pendidikan rendah, tingkat
independensinya untuk mengambil keputusanpun rendah. Pengambilan keputusan
masih berdasarkan pada budaya ‘berunding’ yang berakibat pada keterlambatan
merujuk. Rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga tentang tanda – tanda bahaya
pada kehamilan mendasari pemanfaatan sistem rujukan yang masih kurang. Juga
ditemukan bahwa faktor yang berpengaruh paling penting dalam perilaku mencari
pelayanan kesehatan antenatal adalah pendidikan. Lebih dari 90% wanita yang
berpendidikan minimal sekolah dasar telah mencari pelayanan kesehatan
antenatal. Pekerjaan ibu, dimana keadaan hamil tidak berarti mengubah pola
aktivitas bekerja ibu hamil sehari – hari. Hal tersebut terkait dengan keadaan
ekonomi keluarga, pengetahuan ibu sendiri yang kurang, atau faktor kebiasaan
setempat. Konsep bekerja khususnya yang berkaitan dengan kesehatan perlu diartikan
lebih luas bukan hanya terbatas pada konsep mendapat gaji saja.
Kemiskinan dapat menjadi sebab
rendahnya peran serta masyarakat pada upaya kesehatan. Kematian maternal sering
terjadi pada kelompok miskin, tidak berpendidikan, tinggal di tempat terpencil,
dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk memperjuangkan kehidupannya
sendiri.4) Wanita – wanita dari keluarga dengan pendapatan rendah (kurang dari
US$ 1 perhari) memiliki risiko kurang lebih 300 kali untuk menderita kesakitan
dan kematian maternal bila dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendapatan
yang lebih baik.
Faktor - faktor yang mempengaruhi kesehatan janin
Kesehatan
fisik, sosial, dan emosional kedua orang tua
|
Janin
|
Infeksi
virus fetal
mis :
Rubella, CMV, HIV, Hepatitis B dan C
|
Penyakit
maternal
mis : Diabetes, penyakit tiroid
|
Penyakit
warisan
mis :
Fibrosis kistik, Akondroplasma
|
Obat – obatan
maternal
-
Dengan resep dokter
-
Kecanduan
-
Penyalahgunaan zat
|
Rokok
-
Hambatan pertumbuhan
-
Lahir mati
-
Asma masa anak - anak
|
Toksin
mis :
Alkohol
Sindrom
alkohol fetal
|
Gambar. Faktor –
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin
3.
Perawatan Prakonsepsi
Perawatan prakonsepsi adalah
suatu intervensi yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan memodifikasi resiko
biomedis, perilaku, dan sosial untuk kesehatan atau kehamilan wanita melalui
tindakan pencegahan.
Program perawatan prakonsepsi yang
komperhensif berpotensi membantu wanita yang ingin hamil dengan cara mengurangi
risiko, mendorong gaya hidup sehat, dan meningkatkan
kesiapan menerima kehamilan. Asuhan prenatal dimulai segera setelah
diperkirakan terjadi kehamilan. Perawatan ini dapat dilakukan dalam beberapa hari
setelah terlambat menstruasi, terutama bagi mereka yang menginginkan kehamilannya
dan terapi bagi semua wanita secara umum sebaiknya jangan lebih dari saat
terlambat menstruasi kedua kali. Tujuan utama tindakan ini adalah :
·
Menentukan status kesehatan ibu dan janin
·
Menentukan usia gestasi janin
·
Memulai rencana
untuk melanjutkan perawatan obstetrik (Bobak, 2005).
Berikut ini merupakan jenis-jenis perawatan diri selama kehamilan.
a. Nutrisi pada
Wanita Hamil
Kebutuhan
gizi ibu hamil meningkat 15% dibandingkan dengan kebutuhan wanita normal. Peningkatan
gizi ini dibutuhkan untuk pertumbuhan ibu dan janin. Makanan dikonsumsi ibu
hamil 40% digunakan untuk pertumbuhan janin dan sisanya 60% digunakan untuk
pertumbuhan ibunya. Secara normal kenaikan berat badan ibu hamil 11-13 kg. Asupan
makanan yang dikonsumsi ibu hamil berguna untuk :
·
Pertumbuhan dan perkembangan janin
·
Mengganti sel-sel tubuh yang rusak
·
Sumber tenaga
Hal penting yang harus diperhatikan
ibu hamil adalah makanan yang dikonsumsi terdiri dari susunan menu yang
seimbang yaitu menu yang mengandung unsur-unsur sumber tenaga, pembangunan,
pengaturan dan pelindung.
·
Sumber Tenaga (Sumber energi)
Ibu hamil membutuhkan tambahan
energi sebesar 300 kalori per hari sekitar 15% lebih banyak dari normalnya
yaitu 2500 s/d 3000 kalori dalam sehari. Sumber energi dapat diperoleh dari
karbohidrat dan lemak.
·
Sumber Pembangunan
Sumber zat pembangunan dapat
diperoleh dari protein yang dianjurkan sekitar 800 gram / hari. Dari jumlah
tersebut sekitar 70% dipakai untuk kebutuhan janin dan kandungan.
·
Sumber Pengatur dan Pelindung
Sumber zat pengatur dan pelindung
dapat diperoleh dari air, vitamin, dan mineral, sumber ini dibutuhkan untuk
melindungi tubuh dari serangan penyakit dan mengatur kelancaran proses
metabolisme tubuh.
Kehamilan
merupakan masa kehidupan yang penting. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
kesehatan pada masa kehamilan ialah nutrisi pada wanita hamil tersebut. Ibu
hamil yang mengalami kekurangan nutrisi selama kehamilan, mempunyai resiko
kesakitan yang lebih besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan
dengan ibu hamil normal. Akhirnya mereka mempunyai resiko yang lebih besar
untuk melahirkan bayi BBLR, prematur, kematian saat persalinan, pendarahan,
pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan
(Riskesdas, 2007).
Kehamilan
menyebabkan meningkatnya metabolisme energi, karena itu kebutuhan energi dan
zat gizi lainnya seperti: kalori, protein, mineral, kalsium, yodium, magnesium,
tembaga, selenium, kromium, mangan, kalium, natrium, fluoride, vitamin, asam
folat, vitamin B complex, zat besi (Fe), kalsium, asam folat akan meningkat
selama kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan janin, bertambah besarnya organ kandungan,
perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Sehingga kekurangan zat gizi
tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna.
Status
nutrisi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kurang pendidikan, kemiskinan,
lingkungan yang buruk, kebiasaan makan dan kondisi kesehatan yang buruk, ibu
harus memenuhi panduan makanan yang mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan
jumlah seimbang, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, kalsium,
fosfor, zat besi dan air.
Yang harus
dihindari adalah berhati-hati dalam memilih makanan karena sekarang banyak
makanan yang terkontaminasi oleh bakteri penyebab penyakit seperti salmonella
adalah bakteri penyebab sakit panas, sakit perut dan diare serius yang
ditemukan dalam telur dan ayam. Bakteri itu dapat menyebabkan keguguran atau
kecacatan kelahiran (Stoppard, 2006).
b. Aktifitas
dan Istirahat
Secara umum, wanita hamil tidak
harus membatasi olahraga, asalkan tidak mengalami kelelahan atau berisiko
cedera bagi diri ataupun bagi janinnya. Olahraga dan kebugaran tubuh selama
kehamilan pantas mendapat perhatian khusus. Sewaktu tubuh wanita hamil
bertambah besar dan berat badan akan bertambah, olahraga teratur membantu
mempertahankan kesehatan dan kenyamanan.
Menurut Penny (2007), olahraga yang
melenturkan memperkuat otot-otot yang paling berpengaruh saat kehamilan,
termasuk otot dasar panggul, perut, dan punggung bagian bawah. Olahraga juga
membantu mempertahankan pernapasan yang baik, peredaran darah dan postur.
Olahraga pralahir dan kebugaran fisik membantu menghilangkan beberapa
ketidaknyamanan dalam kehamilan, membantu menyiapkan tubuh untuk persalinan,
dan meningkatkan kesejahteraan emosional. Melakukan gerakan tubuh ringan,
misalnya berjalan kaki terutama pada pagi hari, Jangan melakukan pekerjaan
rumah tangga yang berat dan hindarkan kerja fisik yang dapat menimbulkan
kelelahan yang berlebihan biasanya diakibatkan oleh tinggi tingkat hormon
kolestrol (Prawirohardjo, 2008).
Ibu hamil harus mempertimbangkan
pola istirahat dan tidur yang mendukung kesehatan sendiri, maupun kesehatan
bayinya. Kebiasaan tidur larut malam dan kegiatan-kegiatan malam hari harus di
pertimbangkan dan kalau mungkin dikurangi hingga seminimal mungkin. Tidur malam
± 8 jam/ istirahat/ tidur siang ± 1 jam.
Kapan seorang wanita yang hamil
harus berhenti bekerja diluar rumah sangat tergantung pada jenis pekerjaan,
bahaya apa yang mengancam dalam lingkungan pekerjaan, dan seberapa besar energi
fisik serta mental yang diperlukan dalam melaksanakan pekerjaan itu (Ferrer,
1999).
Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pekerjaan, atau aktivitas yang meningkatkan stress, berdiri lama
sepanjang hari, mengangkat sesuatu yang berat,paparan terhadap suhu atau
kelembaban yang ekstrim tinggi atau rendah, pekerjaan dengan paparan radiasi.
Wanita harus berhati-hati dalam
membuat rencana perjalanan yang cenderung lama atau melelahkan, duduk diam
untuk waktu yang lama dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan mengakibatkan
gangguan sirkulasi serta edema tungkai. Bepergian juga dapat menimbulkan masalah
lain. Biasanya perjalanan jauh akan meletihkan, dan asupan makanan serta
minuman cenderung berbeda dengan biasa dialami. Konstipasi atau diare sering
terjadi dalam perjalanan dan juga dengan berada ditempat lain terdapat
ketidakpastian dalam memperoleh pelayanan medis yang memuaskan (Ferrer, 1999).
c. Kebiasaan
Merokok
Kebiasaan merokok dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan janin yang mengakibatkan kemungkinan besar cacat
bawaan dan terjadinya abortus. Kebiasaan merokok merupakan salah satu penyebab
berbagai gangguan pada janin. Diantaranya, peningkatan resiko keguguran pada
trimester awal, pendarahan trimester akhir, gangguan, pertumbuhan janin sampai
kecacatan jadi selain itu ibu tidak boleh merokok, ibu pun tidak boleh merokok.
Ibu pun tidak boleh menjadi perokok pasif karena dampaknya sama saja. Merokok
merupakan salah satu isu penting sangat bagis dicermati saat kehamilan karena
efek yang muncul diakibatkan merokok adalah kelahiran BBLR, persalinan preterm,
kematian perinatal. Merokok selain mempunyai efek membahayakan janin juga
membahayakan ibu berkaitan dengan penyakit-penyakit yang muncul sebagai akibat
merokok, misalnya penyakit paru, jantung, hipertensi, kanker paru dan
sebagainya.
d. Aktifitas
Seksual
Masalah hubungan seksual merupakan
kebutuhan biologis yang tidak dapat ditawar tetapi perlu diperhitungkan bagi
mereka yang hamil. Kehamilan bukan merupakan halangan untuk melakukan hubungan
seksual. Pada hamil muda hubungan seksual sedapat mungkin dihindari, bila
terdapat keguguran berulang atau mengancam kehamilan dengan tanda infeksi, dan
pendarahan. Beberapa hasil penelitian dalam aktivitas seksual pada ibu hamil
merupakan hal yang tidak tepat. Terdapat perubahan yang cukup jelas mengenai
kenyamanan seksual selama hamil, mungkin terjadi peningkatan atau penurunan
libido. Beberapa pendapat mengenai hubungan seksual selama hamil didasari pada
beberapa konsep bahwa dalam cairan sperma terkandung prostaglandin sehingga
merangsang munculnya kontraksi (Kusmiyati, 2008)
Selama ini,
sekitar separuh peristiwa kehamilan berlangsung dengan perencanaan yang baik.
Pengetahuan mengenai kesehatan diri dan suami sangat perlu bagi pasangan yang
menghendaki kehamilan. Merubah gaya hidup untuk jangka waktu tertentu dapat
memperbaiki status kesehatan, mempermudah terjadinya proses kehamilan dan
menurunkan resiko abortus atau kelahiran bayi cacat.
Berikut
ini adalah tabel untuk hal hal yang perlu diperhatikan pada perawatan prakonsepsi
meliputi penyuluhan, skrining, dan pengkajian :
Pengkajian
|
Risiko Skrining
|
Penyuluhan
|
Kesehatan fisik
|
- Penyakit-penyakit
kronis
- Infeksi
- PMS
- HIV
- Memerlukan
bantuan dokter gigi
- Nilai
laboraturium, misalnya status rubella, golongan darah, hematocrit, dll
|
- Imunisasi
- Olahraga
- Konseling
HIV
|
Kesehatan mental
|
- Masalah-masalah
psikologis
- Kekerasan
keluarga
- Dukungan
sosial/keluarga
|
- Pengurangan
stress
|
Perencanaan keluarga
|
- Interfitilitas
- Keguguran
|
- Fertilisasi
atau konsepsi
- Penanggalan
kehamilan
- Kontrasepsi
yang terhenti
|
Gaya hidup
|
- Risiko
sosial ekonomi
- Bahaya-bahaya
lingkungan
|
- Sumber-sumber
di masyarakat
|
Nutrisi
|
- Gangguan
makan
- Obesitas
- Anemia
|
- Diet
untuk kehamilan
- Suplemen
vitamin dan mineral
- Asam
folat
|
Riwayat genetik
|
- Usia
- Riwayat
keluarga
|
- Penyuluhan
tentang riwayat genetik yang lebih spesifik
|
Pekerjaan
|
- Bahaya-bahaya
pekerjaan
|
- Penyuluhan
untuk bahaya yang mungkin ditimbulkan akibat pekerjaannya yang lebih spesifik
|
Catatan
:
- Komponen
yang penting dalam perawatan prakonsepsi adalah penyuluhan tentang perawatan
prenatal tahap awal dan lanjutan.
- Prekonsepsi
dengan menggunakan asam folat 0,4 mg/hari, akan mengurangi risiko terjadinya
gangguan pada kehamilan, seperti bifida dan defek tuba neural lainnya.
- Wanita
dengan riwayat defek tuba neural dalam keluarga atau pribadi, harus
dipertimbangkan mendapatkan asam folat 4,0 mg/hari, 4 minggu sebelum
merencanakan konsepsi sampai trimester pertama
Hal – hal lain
yang perlu diperhatikan adalah :
a. Status Kesehatan umum : Berat badan, tekanan darah , penyakit sistemik lain
b. Berat badan : Berat badan kurang akan menyebabkan infertiliti dan
lahirnya bayi yang kecil atau memiliki abnormalitas. Berat berlebihan dapat
meningkatkan resiko kehamilan. Kehamilan hendak terjadi pada berat badan yang
ideal. Diet ketat dapat mengurangi asupan sejumlah nutrien penting.
c. Obat : Hanya mengkonsumsi obat yang benar – benar diperlukan
dan aman bagi kehamilan. Bila anda secara regular meminum obat yang diberi atas
petunjuk dokter, tanyakan apakah jenis obat harus diganti bila anda sewaktu –
waktu menjadi hamil
d. Lingkungan yang berbahaya : Usahakan untuk menghindari paparan polusi udara
akibat lalu lintas jalan raya, bahan kimia dan polutan lain. Sejumlah polutan
berkaitan erat dengan abortus dan kelainan kongenital
e. Infeksi : Disarankan untuk mengetahui status imunologi
terhadap Rubella sebelum hamil dan mendapatkan imunisasi bila imunitas terhadap
Rubella sangat rendah. Bila pasien mengkhawatirkan menderita penyakit menular
seksual, lakukan pemeriksaan dan berikan terapi secara memadai.
f. Kontrasepsi : Hindari penggunaan kontrasepsi hormonal
sekurang-kurangnya selama 3 bulan sebelum menghendaki kehamilan.
g. Psikologis dan finansial.
4. Perawatan
Antenatal
A.
Definisi
Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga
profesional yang diberikan kepada ibu selama masa kehamilan yang dilaksanakan
sesuai dengan standar pelayanan antenatal. Pemeriksaan ini bertujuan
memeriksa keadaan ibu dan janin secara berkala diikuti dengan upaya koreksi
terhadap penyimpangan yang ditemukan, dengan frekuensi kunjungan 4 kali selama
kehamilannya, yaitu 1 kali pada trimester pertama, 1 kali pada trimester kedua
dan 2 kali pada trimester ketiga. Pemeriksaan medis dalam pelayanan antenatal
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosis, pemeriksaan obstetrik dan
pemeriksaan diagnosis penunjang (Depkes RI, 2001). Menurut Depkes RI (2010), pelayanan antenatal
merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih untuk ibu selama
masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang
ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan. Pengertian antenatal care adalah
perawatan kehamilan. Pelayanan perawatan kehamilan merupakan pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada ibu selama masa kehamilannya sesuai dengan
standar pelayanan antenatal care yang sudah
ditetapkan.
B.
Tujuan
Tujuan pelaksanaan pelayanan antenatal antara lain:
1. Memantau kemajuan kehamilan serta
memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang bayi
2. Meningkatkan dan mempertahankan
kesehatan fisik, mental dan sosial ibu serta janin
3. Mengenali secara dini kelainan atau
komplikasi yang mungkin terjadi selama hamil
4. Mempersiapkan persalinan cukup
bulan; melahirkan dengan selamat dan mengurangi sekecil mungkin terjadinya
trauma pada ibu dan bayi
6. Mempersiapkan peran ibu dan keluarga
untuk menerima kelahiran dan tumbuh kembang bayi.
Menurut Yulaikhah (2009), pengawasan
antenatal bertujuan :
1. Mengenal dan menangani sedini
mungkin penyulit yang terdapat saat kehamilan, persalinan dan nifas
2. Mengenal dan menangani penyakit yang
menyertai kehamilan, persalinan, dan kala nifas.
3. Memberi nasihat dan petunjuk yang
berkaitan dengan kehamilan, persalinan, kala nifas, laktasi, dan aspek keluarga
berencana.
4. Menurunkan angka kesakitan dan
kematian ibu dan perinatal.
Pelayanan antenatal yang berkualitas
dapat mandeteksi terjadinya risiko pada kehamilan yaitu mendapatkan akses
perawatan kehamilan berkualitas, memperoleh kesempatan dalam deteksi secara
dini terhadap komplikasi yang mungkin timbul sehingga kematian maternal dapat
dihindari (Mufdlilah, 2009). Kualitas pelayanan antenatal diberikan selama masa
hamil secara berkala sesuai dengan pedoman pelayanan antenatal yang telah
ditentukan untuk memelihara serta meningkatkan kesehatan ibu selama hamil
sesuai dengan kebutuhan sehingga dapat menyelesaikan kehamilan dengan baik dan
melahirkan bayi yang sehat.
C.
Standar Antenatal Care
Beberapa jenis pelayanan antenatal
antara lain meliputi (Carolli et al, 2001):
1. Permasalahan yang berhubungan dengan
kesehatan secara umum serta deteksi dini terhadap risiko tinggi pada kehamilan
2. Screening untuk mengidentifikasi
faktor risiko, upaya pengobatan penyakit yang diderita juga untuk mencegah
komplikasi, serta intervensi dalam upaya mencegah penyakit yang timbul.
Standar
pelayanan antenatal yang berkualitas ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI
dalam Mufdlilah (2009b), meliputi :
1. Memberikan pelayanan kepada ibu
hamil minimal empat kali, satu kali pada trimester I, satu kali pada trimester
II, dan dua kali pada trimester III untuk memantau keadaan ibu dan janin dengan
seksama sehingga dapat mendeteksi secara dini dan dapat memberikan intervensi
secara cepat dan tepat.
2. Melakukan penimbangan berat badan
ibu hamil dan pengukuran lingkar lengan atas (LILA) secara teratur mempunyai
arti klinis penting, karena ada hubungan yang erat antara pertambahan berat
badan selama kehamilan dengan berat badan lahir bayi. Pertambahan berat badan
hanya sedikit menghasilkan rata-rata berat badan lahir bayi yang lebih rendah
dan risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya bayi BBLR (Bayi Berat Lahir
Rendah) dan kematian bayi, pertambahan berat badan ibu selama kehamilan dapat
digunakan sebagai indikator pertumbuhan janin dalam rahim. Menurut Mufdlilah
(2009b) yang dikutip dari Cunningham dkk (1997), pertambahan yang optimal
adalah kira-kira 20% dari berat badan ibu sebelum hamil,, jika berat badan
tidak bertambah, lingkar lengan atas <23,5cm menunjukkan ibu mengalami
kurang gizi.
3. Penimbangan berat badan dan pengukuran
tekanan darah harus dilakukan secara rutin dengan tujuan untuk melakukan
deteksi dini terhadap terjadinya tiga gejala preeklamsi. Tekanan darah tinggi,
protein urine positif, pandangan kabur atau oedema pada ekstremitas atas.
4. Pengukuran tinggi fundus uteri (TFU)
dilakukan secara rutin dengan tujuan mendeteksi secara dini terhadap berat
badan janin. Indikator pertumbuhan berat janin intrauterine, tinggi
fundus uteri dapat juga mendeteksi secara dini terhadap terjadinya
molahidatidosa, janin ganda atau hidramnion yang ketiganya dapat mempengaruhi
terjadinya kematian maternal.
5. Melaksanakan palpasi abdominal
setiap kunjungan untuk mengetahui usia kehamilan, letak, bagian terendah, letak
punggung, menentukan denyut jantung janin untuk menentukan asuhan selanjutnya.
6. Pemberian imunisasi tetanus toxoid
(TT) kepada ibu hamil sebanyak 2 kali dengan jarak minimal 4 minggu, diharapkan
dapat menghindari terjadinya tetanus neonatorum dan tetanus pada ibu bersalin
dan nifas.
7. Pemeriksaan hemoglobin (Hb) pada
kunjungan pertama dan pada kehamilan 30 minggu.
8. Memberikan tablet zat besi, 90
tablet selama 3 bulan, diminum setiap hari, ingatkan ibu hamil tidak minum
dengan teh dan kopi, suami/keluarga hendaknya selalu dilibatkan selama ibu
mengkonsumsi zat besi untuk meyakinkan bahwa tablet zat besi betul-betul
diminum.
9. Pemeriksaan urin jika ada indikasi
(tes protein dan glukosa), pemeriksaan penyakit-penyakit infeksi (HIV/AIDS dan
PMS).
10. Memberikan penyuluhan tentang
perawatan diri selama hamil, perawatan payudara, gizi ibu selama hamil, tanda
bahaya pada kehamilan dan pada janin sehingga ibu dan keluarga dapat segera
mengambil keputusan dalam perawatan selanjutnya dan mendengarkan keluhan yang
disampaikan oleh ibu dengan penuh minat, beri nasehat dan rujuk bila
diperlukan.
11. Bicarakan tentang persalinan kepada
ibu hamil, suami/ keluarga pada trimester III, memastikan bahwa persiapan
persalinan bersih, aman dan suasana yang menyenangkan, persiapan transportasi
dan biaya untuk merujuk.
12. Tersedianya alat-alat pelayanan
kehamilan dalam keadaan baik dan dapat digunakan, obat-obatan yang diperlukan,
waktu pencatatan kehamilan dan mencatat semua temuan pada kartu menuju sehat
(KMS) ibu hamil untuk menentukan tindakan selanjutnya.
Menurut
Departemen Kesehatan RI dalam Mufdlilah (2009), standar pelayanan antenatal ada
enam, yaitu:
1. Identifikasi ibu hamil
Hasil
yang diharapkan:
a. Ibu memahami tanda dan gejala
kehamilan
b. Ibu, suami dan masyarakat menyadari
manfaat pelayanan kehamilan secara dini dan teratur, serta mengetahui tempat
pelayanan kehamilan
c. Meningkatkan ibu hamil yang
memeriksakan diri sebelum kehamilan 12 minggu.
2. Pemantauan dan pelayanan antenatal
Hasil yang diharapkan:
a. Ibu hamil mendapatkan pelayanan
antenatal minimal 4 kali selama kehamilan
b. Meningkatkan pemanfaatan jasa bidan
oleh masyarakat
c. Deteksi dini dan penanganan
komplikasi kehamilan
d. Ibu hamil, suami, keluarga dan
masyarakat mengetahui tanda bahaya kehamilan dan tahu apa yang harus dilakukan.
e. Mengurus transportasi rujukan jika
sewaktu-waktu terjadi kegawatdaruratan.
3. Palpasi abdominal
Hasil yang diharapkan:
a. Perkiraan usia kehamilan yang lebih
baik
b. Diagnosis dini kelainan letak dan
merujuknya sesuai dengan kebutuhan
c. Diagnosis dini kehamilan ganda dan
kelainan lain, serta merujuknya sesuai dengan kebutuhan.
4. Pengelolaan anemia pada kehamilan
Hasil
yang diharapkan:
a. Ibu dengan anemia berat segera
dirujuk
b. Penurunan jumlah ibu melahirkan
dengan anemia
c. Penurunan jumlah bayi baru lahir
dengan anemia.
5. Pengelolaan dini hipertensi pada
kehamilan
Hasil yang diharapkan:
a. Ibu hamil dengan tanda preeklamsi
mendapat perawatan yang memadai dan tepat waktu
b. Penurunan angka kesakitan dan
kematian akibat eklamsi
6. Persiapan persalinan
a. Ibu hamil dan masyarakat tergerak
untuk merencanakan persalinan yang bersih dan aman
b. Persalinan direncanakan di tempat
yang aman dan memadai
c. Adanya persiapan sarana transportasi
untuk merujuk ibu bersalin jika perlu
d. Rujukan tepat waktu telah
dipersiapkan bila diperlukan.
Sementara dalam praktiknya terdapat
standar minimal yang harus terpenuhi. Standard tersebut dikenal dengan istilah
“7T” pelayanan antenatal antara lain:
1. (Timbang) berat badan :Ukuran berat
badan dalam kg tanpa sepatu dan memakai pakaian yang seringan-ringannya. Berat
badan kurang dari 45 kg pada trimester III dinyatakan ibu kurus kemungkinan
melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah
2. (Ukur (tekanan) darah: Untuk
mengetahui setiap kenaikan tekanan darah pada kehamilan dan mengenali
tanda-tanda serta gejala preeklamsia lainnya, serta mengambil tindakan yang
tepat dan merujuknya
3. Ukur (tinggi) fundus uteri:
Pemeriksaan abdominal secara seksama dan melakukan palpasi untuk memperkirakan
usia kehamilan; serta bila umur kehamilan bertambah, memeriksa posisi, bagian
terendah janin dan masuknya kepala janin ke dalam rongga panggul, untuk mencari
kelainan serta melakukan rujukan tepat waktu.
4. Pemberian imunisasai (Tetanus
Toksoid) TT lengkap: Untuk mencegah tetanus neonatorum.
5. Pemberian (tablet besi) minimnal 90
tablet selama kehamilan
6. (Tes) terhadap penyakit
menular seksualL Melakukan pemantauan terhadap adanya PMS agar perkembangan
janin berlangsung normal.
7. (Temu) wicara dalam rangka
pensiapan rujukan.: Memberikan saran yang tepat kepada ibu hamil, suami serta
keluarganya tentang tanda-tanda resiko kehamilan. (Depkes RI, 2001:23)
D.
Frekuensi
atau Jadwal ANC
Mufdlilah
(2009) mengatakan, frekuensi Pelayanan Antenatal oleh WHO ditetapkan 4 kali
kunjungan ibu hamil dalam pelayanan Antenatal, selama kehamilan dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Satu kali kunjungan pertama (K1)
selama trimester pertama
2. Satu kali kunjungan kedua (K2)
selama trimester kedua
3. Dua kali kunjungan ketiga dan
keempat (K3 dan K4) selama trimester ketiga
Bila ibu hamil mengalami masalah,
tanda bahaya atau jika merasa khawatir dapat sewaktu-waktu melakukan kunjungan ulang. Pengawasan antenatal memberi manfaat dengan ditemukannya
berbagai kelainan yang menyertai kehamilan secara dini sehingga dapat
diperhitungkan dan dipersiapkan langkah-langkah pertolongan persalinannya.
(Yulaikhah, 2009).
Menurut Mufdlilah (2009),
Perencanaan jadwal pemeriksaan (usia kehamilan dari hari pertama haid terakhir)
yang ideal adalah sebagai berikut:
1. sampai 28 minggu
: 4 minggu sekali
2. 28-36 minggu
: 2 minggu
sekali
3. Di atas 36 minggu
: 1 minggu sekali
kecuali jika ditemukan kelainan atau faktor resiko yang memerlukan penatalaksanaan
medik lain, pemeriksaan harus lebih sering dan intensif.
h.
Perawatan Intranatal
A. Definisi
Persalinan adalah serangkaian kejadian yang berakhir dengan pengeluaran bayi yang cukup bulan, disusul dengan pengeluaran placenta dan selaput janin dari tubuh ibu. (Sulaiman Sastrawinata, 1983). Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin turi) yang dapat hidup didunia luar, dari rahim melalui jalan lahir atau jalan lain (Rustam Muchtar, 1998).
B. Pengawasan persalinan di lakukan untuk :
1.
Mengetahui tahap persalinan sebagai acuan penilaian kemajuan persalinan
dan sebagai dasar untuk menentukan rencana perawatan selanjutnya.
2.
Mengetahui kelainan–kelainan yang mungkin dapat mengganggu kelancaran
persalinan atau segera mengetahui persalinan beresiko.
3.
Memberikan asuhan yang memadai selama persalinan dalam upaya mencapai
pertolongan persalinan yang bersih dan aman dengan memperhatikan aspek sayang
ibu dan sayang bayi.
C. Jenis Persalinan (A.B Saifuddin, 1983)
a.
Menurut
cara persalinan.
·
Persalinan spontan.
Proses
lahir bayi dengan tenaga ibu sendiri tanpa bantuan dan alat, serta tidak
melukai ibu dan bayi yang berlangsung kurang dari 24 jam.
·
Persalinan buatan.
Persalinan pervaginam
dengan bantuan alat – alat atau melalui dinding perut dengan operasi secio caesaria.
·
Persalinan anjuran
Kekuatan yang diperlukan
untuk persalinan ditimbulkan dari luar dengan jalan rangsangan seperti
pemberian pitocin atau prostaglandin atau pemecahan ketuban.
b. Menurut usia (tua kehamilan)
·
Abortus.
Pengeluaran buah kehamilan sebelum kehamilan 22 mg atau bayi dengan
berat badan kurang dari 500 g.
·
Partus imaturus.
Pengeluaran buah kehamilan antara 22 mg dan 28 mg atau bayi dengan berat
badan antara 500 g dan 999 g.
·
Partus prematurus.
Pengeluaran buah kehamilan antara 28 mg dan 37 mg atau dengan berat
badan 1000 g dan 2499 g.
·
Partus matures/aterm
Pengeluaran buah kehamilan antara 37 mg dan 42 mg atau bayi dengan BB
2500 g atau lebih.
·
Partus post matures / serotinus
Pengeluaran buah kehamilan setelah 42 mg.
D.
Sebab – sebab yang menimbulkan
persalinan. (Rustam Mochtar, 1998)
Progesterone menimbulkan
relaksasi otot rahim, sebaliknya estrogen meninggikan kerentanan otot rahim.
Selama kehamilan terdapat keseimbangan antara kadar progesterone dan estrogen
didalam darah, tetapi pada akhir kehamilan kadar progesterone menurun sehingga
menimbulkan his.
b.
Teori oxytocin.
Pada akhir kehamilan kadar
oxytosin bertambah. Oleh karena itu timbul kontraksi otot – otot rahim.
c.
Teori placenta menjadi tua.
Plasenta yang tua akan
menyebabkan turunnya kadar estrogen dan progesterone yang akan menyebabkan
kekejangan pembuluh darah. Hal ini akan menimbulkan his.
d.
Teori prostaglandin.
Prostaglandin yang
dihasilkan oleh deciduas menimbulkan kontraksi miometrium pada setiap umur
kehamilan.
e.
Pengaruh janin.
Hipofise dan supra renal
janin memegang peranan oleh karena pada anencephalus, kehamilan sering lama
dari biasanya.
f.
Teori distensi rahim.
Rahim yang menjadi besar
dan teregang yang menyebabkan iskemia otot – otot rahim sehingga mengganggu
sirkulasi uteroplasenta.
g.
Teori iritasi mekanik
Dibelakang serviks
terletak ganglion servikalis, bila ganglion ini digeser dan ditekan misalnya
oleh kepala janin maka akan menimbulkan his.
E. Gejala Persalinan.
1.
Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering dan teratur
2.
Keluarnya lendir bercampur darah lebih banyak. Hal ini terjadi karena
robekan – robekan kecil yang terjadi pada serviks
3.
Kadang – kadang ketuban pecah dengan sendirinya.
4.
Pada pemeriksaan dalam serviks mendatar, lunak dan terdapat pembukaan
F.
Tanda – tanda Permulaan
Persalinan.
·
Kepala turun memasuki PAP terutama pada
primigravida. Pada primigravida kepala anak pada bulan terakhir berangsur –
angsur turun kedalam rongga panggul. Pada multigravida, dinding rahim dan perut
sudah kendor kekenyalannya sudah berkurang sehingga kekuatan mendesak kebawah
tidak seberapa, biasanya kepala baru turun pada permulaan persalinan.
·
Perut kelihatan lebih melebar, fundus uteri
turun.
·
Perasaan sering atau susah BAB karena vesika
urinaria karena tertekan oleh bagian terbawah janin.
·
Perasaan sakit diperut dan pinggang oleh
adanya his.
·
Serviks menjadi lembek, mulai mendatar,
sekresi bertambah, kadang – kadang bercampur darah
Penurunan
kepala janin. (Rustam Mochtar, 1998)
PERIKSA LUAR
|
PERIKSA DALAM
|
KETERANGAN
|
5/5
|
-
kepala diatas PAP
- mudah digerakkan
|
|
4/5
|
H I – II
|
-
sakit digerakkan
- bagian terbesar PAP belum masuk panggul
|
3/5
|
H II – III |
-
bagian terbesar kepala belum masuk panggul
|
2/5
|
H III +
|
-
bagian terbesar kepala sudah
masuk panggul
|
1/5
|
H III – IV
|
-kepala didasar panggul
|
0/5
|
H V
|
-diperineum
|
Keterangan :
H I
: sama
dengan atas pintu panggul / PAP
H II
: sejajara dengan H I melalui pinggir bawah simpisis
H
III : sejajar
dengan H I melalui spina iskhiadika
H V
: sejajar dengan H
I melalui ujung os coxigius
G. Proses persalinan (Rustam Mochtar, 1998)
1. Kala I.
· Dimulai dari saat persalinan mulai sampai
pembukaan lengkap (10 cm)
· Terbagi menjadi 2 fase :
a.
fase laten : serviks berdilatasi kurang dari 4 cm
b.
fase aktif : serviks berdilatasi 4 – 9 cm, kecepatan pembukaan 1 cm atau
lebih perjam, penurunan kepala dimulai.
·
Pada kala pembukaan his belum begitu kuat, datangnya 10 – 15 menit dan
tidak seberapa mengganggu ibu hingga ia sering masih dapat berjalan
·
Lambat laun his bertambah kuat, interval menjadi lebih pendek, kontraksi
lebih kuat dan lebih lama, lendir darah bertambah banyak.
·
Lamanya kala I untuk primipara 12 jam dan untuk multipara 8 jam.
1. Kemajuan persalinan dalam kala I
2. Kemajuan yang cukup baik pada persalinan kala
I :
-
Kontraksi teratur yang progresif dengan
peningkatan frekuensi dan durasi.
-
Kecepatan pembukaan serviks paling sedikit 1
cm perjam selama persalinan faseaktif (dilatasi serviks berlangsung atau ada
disebelah kiri garis waspada).
-
Serviks tampak dipenuhi oleh bagian bawah
janin
3.
Kemajuan yang kurang baik pada kala I :
-
Kontraksi yang tidak teratur dan tidak sering
setelah fase laten.
-
Kecepatan pembukaan serviks lebih lambat dari
1 cm perjam selama persalinan fase aktif (dilatasi serviks berada disebelah
kanan garis waspada).
-
Serviks tidak dipenuhi oleh bagian bawah
janin
4. Kemajuan pada kondisi ibu.
-
Jika denyut nadi ibu meningkat, mungkin ia sedang dalam keadaan
dehidrasi atau kesakitan. Pastikan hidrasi yang cukup melalui oral atau IV dan
berikan analgesik secukupnya.
-
Jika tekanan darah ibu menurun, curigai adanya perdarahan
-
Jika terdapat aceton didalam urine ibu, curigai masukan nutrisi yang
kurang. Segera berikan dextrose IV.
1.Kemajuan pada kondisi janin.
ü
Jika didapati DJJ tidak normal (kurang dari 100 atau lebih dari 180 x /
menit) curigai adanya gawat janin.
ü
Posisi atau presentasi selain oksiput anterior dengan reflek fleksi
sempurna digolongkan dalam malposisi atau malpresentasi.
2. Kala II
1.
Dimulai dari pembukaan lengkap sampai lahirnya bayi.
2.
His menjadi lebih kuat, kontraksinya selama 50 – 100 detik, datngnya
tiap 2 – 3 menit. Ketuban biasanya pecah dalam kala ini dan ditandai dengan
keluarnya cairan yang kekuningan secara sekonyong – konyong dan banyak.
i.
Pasien mulai mengejan.
ii.
Pada akhir kala 2 sebagai tanda bhwa kepala sudah sampai didasar
panggul, perineum menonjol, vulva menganga dan rectum terbuka.
iii.
Dipuncak his, bagian terkecil dri kepala nampak dalam vulva, tetapi
hilang lagi waktu his berhenti. Pada his berikutnya bagian kepala yang
nampak lebih besar lagi, tetapi surut kembali kalau his terhenti. Kejadian ini
disebut kepala membuka pintu.
iv.
Maju dan surutnya kepala berlangsung terus, sampai lingkaran terbesar
dari kepala terpegang oleh vulva sehingga tidak dapat mundur lagi. Pada saat
ini tonjolan tulang ubun – ubun saat ini telah lahir dan sub oksiput ada
dibawah simpisis. Pada saat ini disebut kepala keluar pintu. Karena pada his
berikutnya dengan ekstensi lahirlah ubun – ubun besar, dahi dn mulut pad
komisura posterior.
v.
Setelah kepala lahir ia jatuh kebawah dn kemudian terjadi putaran paksi
luar, sehingga kepala melintang. Sekarang vulva menekan pad leher dan dada
tertekan oleh jalan lahir sehingga dari hidung anak keluar lendir dan cairan.
vi.
Pada his berikutnya bahu lahir, bahu belakang dulu kemudian baru depan
disusul oleh seluruh badan anak dengan fleksi lateral sesuai dengan paksi jalan
lahir.
vii.
Lamanya kala 2 pada primi kurang lebih 50 menit dan pada multi kurang
lebih 20 menit.
3. Kala III
- Dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta.
- Lamanya kala uri kurang lebih 8,5 menit dan pelepasan plasenta hanya
memakan waktu 2 – 3 menit.
4. Kala IV
- Dimulai dari saat
lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama postpartum.
Diagnosa
Keperawatan, Tujuan dan Intervensi.
Kala I :
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peningkatan frekuensi dan
intensitas kontraksi uterus.
Tujuan :
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 1 x 3 jam pasien dapat beradaptasi terhadap nyeri
dengan KH :
-
Tampak rileks diantara kontraksi
-
Dapat mengontrol penyebab nyeri
Intervensi :
-
Kaji derajat ketidak nyamanan malalui isyarat verbal dan non verbal.
-
Jelaskan penyebab nyeri.
-
Ajarkan klien cara mengontrol nyeri dengan menggunakan tehnik pernapasan /
relaksasi yang tepat dan masses pinggang.
-
Bantu tindakan kenyamanan mis : gosokan pada kaki, punggung, tekanan sakral,
perubahan posisi.
-
Anjurkan klien untuk berkemih setiap 1- 2 jam, palpasi diatas simpisis untuk
menentukan ada tidaknya distensi setelah blok syaraf.
-
Hitung waktu dan catat frekuensi, intensitas dan pola kontraksi uterus setiap
30 menit.
-
Monitor vital sign.
2. Risiko cedera / distress terhadap janin behubungan dengan hipoksia
jaringan.
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan kurang lebih selama 1 x 3 jam tidak terjadi
cedera pada janin dengan KH :
-
DJJ dalam batas normal
Intervensi :
-
Lakukan palpasi (leopold) untuk menentukan posisi janin, berbaring dan
presentasi.
-
Hitung DJJ dan perhatikan perubahan periodik pada respon terhadap kontraksi
uterus.
-
Catat kemajuan persalinan.
3. Risiko cedera terhadap maternal berhubungan dengan perlambatan
mortilitas gastric, dorongan fisiologis.
Tujuan : setelah
dilakukan tindakan keperawatan kurang lebih 1 x 2 jam tidak terjadi cedera pada
maternal dengan KH :
-
Klien mengatakan resiko dan alasan dan intervensi khusus sudah dimengerti.
-
Klien kooperatif untuk melindungi diri sendiri / janin dari dari cedera.
-
Klien bebas dari cedera / komplikasi
Intervensi :
-
Pantau aktivitas uterus , catat frekuensi, durasi dan intensitas kontraksi.
-
Lakukan tirah baring saat persalinan menjadi lebih intensif. Hindari meninggalkan
klien tanpa perhatian.
-
Tempatkan klien pada posisi agak tegak miring kiri
-
Berikan perawatan perineal setiap 4 jam.
-
Pantau suhu dan nadi.
-
Berikan es batu atau cairan jernih pada klien bila memungkinkan, hindari
makanan padat.
-
Anjurkan klien untuk bernapas pendek dan cepat atau meniup bila ada dorongan
untuk mengejan.
4. Risiko gangguan pertukaran gas pada janin berhubungan dengan perubahan
suplai O2 atau aliran darah : anemia dan pendarahan sekunder
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan
pertukaran gas pada janin dengan KH :
-
DJJ dalam batas normal (120 – 160 x / menit).
-
Bayi tidak mengalami hipoksia selama persalinan.
Intervensi :
-
Kaji faktor – faktor maternal atau kondisi yang menurunkan sirkulasi
uteroplasental.
-
Pantau DJJ setiap 15 – 30 menit.
-
Pantau DJJ dengan segera bila ketuban pecah.
-
Pantau besarnya janin pada jalan lahir melalui pemerikasaan vagina .
-
Kaji perubahan DJJ selama kontraksi.
5. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan dilatasi atau regangan dan
hipoksia jaringan, tekanan mekanik dari bagian presentasi.
Tujuan :
Pasien dapat
bertoleransi terhadap nyeri dengan KH :
-
Klien menyatakan rasa nyeri berkurang.
-
Klien mampu menggunakan tehnik yang tepat untuk mempertahankan kontrol,
istirahat diantara kontraksi.
Intervensi :
-
Kaji derajat ketidakmampuan melalui isyarat verbal dan non verbal.
-
Kaji perubahan klien terhadap sentuhan fisik selama kontraksi.
-
Pantau frekuensi, durasi, dan intensitas kontraksi uterus.
-
Bantu klien dan ajarkan mengubah bernapas menjadi lebih cepat misalnya: tiupan
napas pendek dan cepat.
-
Berikan lingkungan yang tenang dengan ventilasi adekuat.
-
Lakukan gosokan sakral / punggung, perubahan posisi.
-
Pantau dilatasi serviks.
-
Catat penonjolan perineal.
-
Anjurkan klien untuk berkemih (fase laten)
-
Berikan dorongan dan informasi tentang kemajuan persalinan dan berikan
reinforcement untuk upaya klien / pasangan.
-
Pantau tanda vital ibu dan janin.
-
Kolaborasi pemberian analgesik.
6. Risiko terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan
aliran balik vena, hipovolemia, perubahan tahanan vskuler sistemik.
Tujuan :
Tidak terjadi penurunan
curah jantung dengan KH :
-
Tanda – tanda vital sesuai terhadap tahap persalinan.
-
Tidak ada edema, DJJ dalam batas normal (120 – 160 x / menit).
Intervensi :
-
Kaji tekanan darah dan nadi diantara kontraksi, sesuai indikasi.
-
Perhatikan ada dan luasnya edema.
-
Pantau DJJ selama dan diantara kontraksi.
-
Infus balance cairan.
7. Kurangnya pengetahuan tentang proses persalinan berhubungan dengan
kurangnya sumber – sumber informasi.
Tujuan :
Klien dan keluarga
mengetahui tentang proses persalinan dengan KH :
-
Klien memahami respon fisiologis setelah melahirkan.
-
Secara aktif klien ikut dalam upaya mendorong untuk meningkatkan pengeluaran
plasenta.
Intervensi :
-
Diskusikan proses normal persalinan kala III.
-
Jelaskan alasan untuk respon perilaku seperti menggigit, tremor.
-
Diskusikan ritinitas periode pemulihan selama 4 jam pertama setelah melahirkan.
Kala II :
1. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan aktif,
penurunan masukan
Tujuan :
-
Tidak terjadi kekurangan volume cairan dalam tubuh dengan KH :
-
Tanda – tanda vital dalam batas normal.
-
Keluaran urine adekuat.
-
Membran mukosa kental.
-
Bebas dari rasa haus.
Intervensi :
-
Ukur masukan dan keluaran.
-
Pantau tanda – tanda vital sesuai indikasi.
-
Kaji DJJ dan perhatikan perubahan periodek.
-
Atur posisi klien tegak atau lateral.
-
Kolaborasi pemberian cairan parenteral
2. Risiko infeki terhadap maternal berhubungan dengan prosedur invasif
berulang, trauma jaringan, persalinan lama.
Tujuan :
Klien tidak terjadi
infeksi dengan KH :
-
Bebas dari tanda – tanda infeksi (rubor, tumor, dolor, kalor, dan fungsiolaesa)
Intervensi :
-
Lakukan perawatan perineal setiap 4 jam menggunakan tehnik aseptik.
-
Catat tanggal dan waktu pecah ketuban.
-
Lakukan pemeriksaan vagina hanya bila sangat perlu dengan menggunakan tehnik
aseptik.
-
Pantau tanda – tanda vital dan laborat leukosit.
-
Gunakan aseptik bedah pada persiapan peralatan.
-
Batasi jumlah orang yang ada pada saat persalinan.
Kala III :
1. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran
pervaginam akibat atonia.
Tujuan :
Tidak terjadi kekurangan
volume cairan akibat HPP. Dengan KH :
-
Kontraksi uterus adekuat.
-
Kehilangan darah dalam batas normal (<500 ml).
-
Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
-
Anjurkan klien untuk masase fundus.
-
Pantau tanda – tanda vital dan pengeluaran pervaginam.
-
Palpasi uterus dan masase uterus perlahan setelah pengeluaran plasenta.
-
Catat waktu dan mekanisme pelepasan plasenta.
-
Pantau tanda dan gejala kehilangan cairan yang berlebihan.
-
Inspeksi permukaan plasenta maternal dan janin, perhatikan ukuran, insersi tali
pusat dan ketuban.
-
Berikan cairan peroral.
-
Hindari menarik tali pusat secara berlebihan.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri akut berhubungan
dengan trauma jaringan, respon fisiologis setelah melahirkan.
Tujuan :
Pasien dapat beradaptasi
terhadap rasa nyeri dengan KH :
-
Klien menyatakan nyeri berkurang atau klien beradaptasi dengan nyerinya.
-
Ekspresi wajah rileks tak gelisah.
-
Perut tidak mules, luka bersih dan tidak bengkak.
Intervensi :
-
Bantu dengan penggunaan tehnik pernapasan selama perbaikan luka.
-
Berikan kompres es pada perineum setelah melahirkan.
-
Ganti pakaian dan klien yang basah, berikan selimut yang hangat.
-
Jelaskan pada klien perubahan fisiologis setelah melahirkan.
Kala IV :
1. Perubahan ikatan proses keluarga berhubungan dengan transisi atau
peningkatan perkembangan anggta keluarga.
Tujuan :
Klien mampu beradaptasi
dengan perubahan setelah melahirkan dengan KH
-
Klien menggendong bayinya.
-
Klien mampu mendemonstrasikan perilaku kedekatan dan ikatan yang tepat.
Intervensi :
-
Anjurkan klien untuk menggendong, menyentuh dan memeriksa bayi.
-
Anjurkan ayah untuk menyentuh dan menggendong bayi serta membantu dalam
perawatan bayi, sesuai kondisinya.
-
Observasi dan catat interaksi bayi – keluarga, perhatikan perilaku untuk
menunjukkan ikatan dan kedekatan dalam budaya khusus.
-
Catat perilaku / pengungkapan yang menunjukkan kekecewaan / kurang minat /
kedekatan.
-
Terima keluarga dan sibling dengan senang hati selama periode pemulihan.
-
Jamin privasi keluarga pada pemeriksaan selama interaksi awal dengan bayi baru
lahir sesuai kondisi ibu dan bayi.
-
Anjurkan dan bantu pemberian ASI.
2. Risiko kekurangan cairan berhubungan dengan kelelahan atau kegagalan
meometri dan mekanisme homeostatic.
3. Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan kontraksi uterus.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Persalinan adalah serangkaian kejadian yang
berakhir dengan pengeluaran bayi yang cukup bulan, disusul dengan pengeluaran
placenta dan selaput janin dari tubuh ibu. Dengan berbagai jenis, sebab dan
proses persalinan.
2. Kematian
maternal adalah kematian wanita yang terjadi pada saat kehamilan, atau dalam 42
hari setelah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung dari lama dan lokasi
kehamilan. Hal ini disebabkan oleh perdarahan, abourtus, eklampsia, komplikasi,
partus yang lama, emboli dan trauma obstretik.
3. Faktor-faktor yang
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas terdiri dari faktor medis dan non medis
dan ditentukan oleh determinan yang berbeda.
4. Perawatan prakonsepsi
adalah perawatan yang membantu wanita yang ingin hamil dengan cara
mengurangi risiko, mendorong gaya hidup sehat, dan meningkatkan kesiapan menerima kehamilan.
Asuhan prenatal dimulai segera setelah diperkirakan terjadi kehamilan.
5. Perawatan
Antenatal diberikan selama masa kehamilan berdasarkan standar pelayanan
Antenatal yang meliputi identifikasi, pemantauan, palpasi abdominal,
pengelolaan anemia, pengelolaan hipertensi, persiapan persalinan
6. Perawatan
Intranatal diberikan saat ibu melakukan persalinan dengan memperhatikan
tahapan-tahapan persalinan
Saran
Perawatan bagi kesehatan
ibu dan anak sangat penting dilakukan untuk menurunkan tingkat AKI (Angka
Kematian Ibu). Untuk itu, perlu dukungan dari pemerintah menyediakan sarana dan
prasarana pelayanan yang menunjang dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak.
Komentar
Posting Komentar