LAPORAN
PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ALO (ACUTE LUNG
OEDEM)
Untuk
memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Medikal di Ruang 26 Infeksi RSSA Malang

Disusun
Oleh :
Siti
Nur Afifah
150070300011049
KELOMPOK
4
PROGRAM
STUDI NERS ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
1.
DEFINISI
Acute Lung Odema (ALO) atau edema paru akut
adalah terjadinya penumpukan cairan secara massif di rongga alveoli yang
menyebabkan pasien berada dalam kedaruratan respirasi dan ancaman gagal nafas
(Gumiwang, 2007).
ALO juga dapat diartikan sebagai penumpukan
cairan (serous/serosanguineous) oleh karena adanya aliran cairan atau darah ke
ruang interstisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, bronkus, bronkiolus,
atau interstisial space melebihi cairan balik/kembali ke arah jantung atau
melalui limfatik (Tamashefski, 2000).
2.
ETIOLOGI
a. Ketidakseimbangan Starling Forces:
1) Peningkatan tekanan kapiler paru:
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan
kapiler pulmonal meningkat sampai melebihi tekanan osmotic koloid plasma, yang
biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan
vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai
terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain:
·
Peningkatan tekanan vena paru tanpa
adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral).
·
Peningkatan tekanan vena paru sekunder
oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.
·
Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder
oleh karena peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary
edema).
2) Penurunan tekanan onkotik plasma
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit
ginjal, hati, protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit
nutrisi. Tetapi hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan
juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja
pada hipoalbuminemia akan menyebabkan edema paru.
3) Peningkatan tekanan negatif intersisial:
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan
yang cepat dari udara pleural, contoh yang sering menjadi etiologi adalah:
1.
Pengambilan terlalu cepat pneumotorak
atau efusi pleura (unilateral).
2.
Tekanan pleura yang sangat negatif oleh
karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory
volume (asma).
4) Peningkatan tekanan onkotik intersisial
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
b. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory
Distress Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari
kerusakan pembatas antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis
maupun surgical tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan
pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Starling Force.
1)
Pneumonia (bakteri, virus,
parasit).
2)
Bahan toksik inhalan
(phosgene, ozone, chlorine, NO).
3)
Bahan asing dalam sirkulasi
(bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl thiourea).
4)
Aspirasi asam lambung.
5)
Pneumonitis radiasi akut.
6)
Bahan vasoaktif endogen
(histamin, kinin).
7)
Disseminated Intravascular
Coagulation.
8)
Imunologi: pneumonitis
hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
9)
Shock Lung oleh karena trauma
di luar toraks.
10)
Pankreatitis Perdarahan Akut.
c. Insufisiensi Limfatik:
1) Post Lung Transplant.
2) Lymphangitic Carcinomatosis.
3) Fibrosing Lymphangitis (silicosis)
d. Tak diketahui/tak jelas
1) High Altitude Pulmonary Edema.
2) Neurogenic Pulmonary Edema.
3) Narcotic overdose.
4) Pulmonary embolism
5) Eclampsia
6) Post cardioversion
7) Post Anesthesia
8) Post Cardiopulmonary Bypass
e.
Kardiogenik
1)
Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang
menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya deposit lemak
(plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah pada arteri
dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai oleh
arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak mampu
memompa darah lagi seperti biasa.
2)
Kardiomiopati
Penyebab terjadinya
kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli diyakini penyebab
terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh infeksi pada miokard
jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari obat-obatan
seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri
menjadi lemah sehingga tidak mampu mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan
jantung memompa darah lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri
tidak mampu mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke
paru-paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru
(flooding).
3)
Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan
katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk mengatur aliran darah tidak
mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak mampu menutup dengan
sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah mengalir kembali melalui
katub menuju paru-paru.
4)
Hipertensi
Hipertensi tidak
terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot ventrikel kiri dan
dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.
3.
KLASIFIKASI
Berdasarkan
penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan
non-kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat
berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri
apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah
Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat
terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri Cronic
a.
Cardiogenic
Edema paru
kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan pada organ
jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung memompa
tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa.
Cardiogenic
pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam pembuluh-pembuluh
darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang buruk. Gagal jantung
kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang buruk (datang dari
beragam sebab-sebab seperti arrhythmias dan penyakit-penyakit atau kelemahan
dari otot jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung yang
abnormal dapat menjurus pada akumulasi lebih dari jumlah darah yang biasa dalam
pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan
cairan dari pembuluh-pembuluh darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan
membesar.
b.
Non-Cardiogenic Pulmonary Edema
Non-cardiogenic
pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh hal berikut:
-
Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS,
integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari respon
peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor yang
dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
-
Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi
yang parah, trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru,
merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru.
-
Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari
tubuh dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah,
berakibat pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah
lanjut, dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
-
High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh
kenaikan yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.
-
Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage),
seizure-seizure yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada
akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
-
Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan
re-expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru
mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru
(pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru.
Ini dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh
(unilateral pulmonary edema).
-
Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada
pulmonary edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang
kronis dapat menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang
mungkin menyebabkan pulmonary edema.
-
Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic
pulmonary edema mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah
berjalan ke paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau
transfusion-related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus,
atau eclampsia pada wanita-wanita hamil.
4.
MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda
fisik dan perubahan radiografi (foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium,
meskipun kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini. Secara patofisiologi
edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan
protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium
kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada
permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir
yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas.
Sering kali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
-
Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru
yang prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan
kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya
sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan,
kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran
napas yang tertutup pada saat inspirasi.
-
Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru
intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga
menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya
penumpukan cairan di jaringan kendor intersisial, akan lebih memperkecil
saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi.
Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea.
Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi
takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja.
-
Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar.
Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita
nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume
paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt.
Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat
terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin
hams digunakan dengan hati-hati. Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard
Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang
dilakukan ligasi arteria koronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler
paru normal, yang dapat dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya.
Diperkirakan bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic
phosphodiesterase akan mengurangi edema' paru sekunder akibat peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler; pada manusia masih memerlukan penelitian lebih
lanjut. Kadang-kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru,
tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya
pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah
turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup
yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung (Sjaharudin Harun & Sally
Aman Nasution,2006).
5.
PATOFISIOLOGI
a. Penigkatan
tekanan hidrostatik (tekanan yang mendorong cairan keluar sel) pada
kapiler paru terjadi jika kerja pemompaan ventrikel kiri tidak adekuat.
Penyebabnya adalah penurunan kekuatan miokardium atau keadaan yang menuntut
peningkatan kerja miokardium (gagal jantung), stenosis katup mitral atau
regurgitasi. Akibatnya, peningkatan atrium kiri akan dihantarkan ke belakang
pembuluh darah paru.
b. Gangguan drainase limfatik mempermudah
pembentukan edema paru. Biasanya, kelebihan cairan filtrasi akan dibuang
melalui system limfatik. Jika gagal jantung kanan bersamaan dengan gagal
jantung kiri, tekanan vena sistemik akan meningkat, begitu pula tekanan pada
tempat drainase pembuluh limfatik ke dalam vena sehingga menghambat drainase
limfatik.
c. Tekanan
onkotik di kapiler berkurang pada hipoproteinemia, sehingga mendukung
terjadinya edema paru (tidak ada cukup perotein untuk mendorong cairan ke dalam
sel).
d. Pada edema paru
interstisial, ruang interstisial di antara kapiler dan alveolus meningkat.
Akibatnya terjadi gangguan difusi yang terutama mengganggu pengambilan O2.
Sehingga pada aktifitas fisik dimana kebutuhan O2 meningkat, konsentrasi O2
dalam darah akan turun (hipoksemia, sianosis). Tekanan
yang terus meningkat dan kerusakan dinding alveolus menyebabkan filtrasi ke
dalam ruang alveolus. Alveolus yang terisi dengan cairan tidak lagi terlibat
dalam proses pertukaran gas, cairan memasuki jalan nafas sehingga meningkatkan
resistensi jalan nafas.
e. Edema paru memaksa pasien untuk bernafas dalam posisi tegak
(ortopneu). Pada posisi duduk atau berdiri setelah berbaring, aliran balik vena
dari bagian tubuh terbawah akan turun (semakin turun bila dalam posisi tegak)
sehingga tekanan atrium kanan dan curah jantung kanan menurun. Aliran darah ke
paru akan berkurang sehingga menyebabkan penurunan teknan hidrostatik di
kapiler paru dan dalam waktu yang bersamaan, aliran vena pulmonalis dari bagian
tubuh di atas paru akan meningkat. Selain itu, penurunan tekanan vena sentralis
membantu drainase limfatik dari paru. Akibatnya, bendungan paru, serta edema
alveolus dan interstisial akan berkurang.
6.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.
EKG
-
Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri,
atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal jantung.
-
Gambaran iskemik, infark, hipertrofi ventrikel kiri
atau aritmia bisa ditemukan.
-
Edema paru non iskemik: gelombang T negative yang lebar
dengan QT memanjang.
b.
Laboratorium
-
Analisis gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah,
kemudian hiperkapnia.
-
Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark
miokard.
-
Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, urinalisis,
enzim jantung (CK-CKMB, Troponin T) diperiksa.
c.
Foto Toraks
Hilus melebar dan densitas meningkat disertai tanda bendungan paru,
akibat edema interstisial atau alveolar.

1.
Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di
hilus)
2.
Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
3.
Kranialisasi vaskuler
4.
Hilus suram (batas tidak jelas)
5.
Interstitial fibrosis (gambaran seperti
granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)

Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi pleura, diafragma
kanan letak tinggi

1.
Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)
2.
Edema “ butterfly” atau Bat’s Wing (edema sentral)
d.
Ecocardiografi
Gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi
ventrikel (hipertensi), segmental wall motion abnormality (PJK), dan umumnya
ditemukan dilatasi ventrikel dan atrium kiri.

7.
PENATALAKSANAAN
a. Posisi
setengah duduk
b. Oksigen
(40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk pasien
makin sesak, takipneu, ronkhi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60
mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau
tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat dilakukan intubasi
endotrakeal, suction, dan ventilator/bipep.
c. Infuse
emergensi
d. Monitor
tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
e. Nitrogliserin
sublingual atau iv.
f. Peroral
0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah > 95 mmHg bisa diberikan iv
mulai dosis 3-5 μg/kgBB. Jika tidak memberikan hasil memuaskan, dapat diberikan
nitroprusid.
g. Nitroprusid
iv dimulai dosis 0,1 μg/kgBB/menit bila tidak member respons dengan nitrat,
dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah
sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal
atau selama dapat dipertahankan perfusi ke organ-organ vital.
h. Morfin
sulfat: 3-5 mg iv, dapat diulangi tiap 25 menit sampai total dosis 15 mg.
i. Diuretic
: Furosemid 40-80 mg iv bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam
atau dilanjutkan drip kontinu sampai dicapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam.
j. Bila
perlu (tekanan darah turun/tanda hiperfusi) Dopamin 2-5 μg/kgBB/menit atau
Dobutamin 2-10μg/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai respons klinis atau keduanya.
k. Trombolitik
atau revaskularisasi pada pasien innfark miokardial.
l. Intubasi
dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis, atau tidak berhasil
dengan terapi oksigen.
m. Atasi
aritmia atau gangguan konduksi.
n. Operasi
pada komplikasi akut infark jantung akut, seperti regurgitasi, VSD, dan rupture
dinding ventrikel atau korda tendinae.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
8.
PENGKAJIAN
a. Identitas
:
b. Umur: Klien dewasa
dan bayi cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa muda
c. Riwayat Masuk:
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau
batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun
dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar
dengan masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien
d. Riwayat Penyakit
Dahulu: Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis,
pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta
penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien
e. Pemeriksaan fisik
-
Sistem Integumen
Subyektif :
Obyektif : kulit pucat, cyanosis,
turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak keringat , suhu kulit
meningkat, kemerahan
-
Sistem Pulmonal
Subyektif : Sesak nafas, dada tertekan
Obyektif :Pernafasan cuping hidung,
hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot
bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan
meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
-
Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif
:Denyut nadi meningkat, pembuluh
darah vasokontriksi, kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur,
suara jantung tambahan
-
Sistem Neurosensori
Subyektif
: gelisah, penurunan kesadaran,
kejang
Obyektif
: GCS menurun, refleks
menurun/normal, letargi
-
Sistem Musculoskeletal
Subyektif
: lemah, cepat lelah
Obyektif
: tonus otot menurun, nyeri
otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot aksesoris pernafasan
-
Sistem genitourinaria
Subyektif
: -
Obyektif
: produksi urine menurun/normal,
-
Sistem digestif
Subyektif
: mual, kadang muntah
Obyektif
: konsistensi feses normal/diare
-
Studi Laboratorik
Hb : menurun/normal
Analisa Gas
Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar
karbon darah meningkat/normal
-
Elektrolit :
Natrium/kalsium menurun/normal
9.
DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL
1.
Penurunan curah jantung berhubungan dengan
perubahan kontakilitas miokardial (penurunan).
2.
Gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan perubahan membran kapiler-alveolus (perpindahan cairan ke dalam area
intertitial/alveoli)
3.
Ketidakefektifan pola pernafasan
berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan
cairan dalam paru.
4.
Cemas sehubungan dengan adanya ancaman
kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernafas).
5.
Ketidakmampuan melakukan aktivitas
sehari-hari sehubungan dengan keletihan (keadaan fisik yang lemah).
6.
Kurang pengetahuan mengenai kondisi,
aturan pengobatan sehubungan dengan kurang terpajang informasi
10.
RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan 1. Penurunan curah
jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas miokardial (penurunan).
Tujuan : Curah jantung tercukupi untuk kebutuhan individual
Kriteria hasil : Menunjukkan tanda vital dalam batas normal dan
bebas gejala gagal jantung.
Rencana tindakan :
a) Catat suara jantung
Rasional: S1 dan S2 mungkin lemah karena terdapat kelemahan dalam
memompa. Irama gallop sering ada (S2 dan S3). Murmur merupakan gambaran adanya
ketidaknormalan/stenosis dari katup.
b) Monitor tekanan darah
Rasional: pada awal tekanan darah meningkat karena peningkatan SVR,
lama kelamaan badan/body jantung tidak bisa bertambah panjang agar bisa untuk
kompensasi dan bisa terjadi hipotensi berat.
c) Palpasi denyut peripher
Rasional: Penurunan CO akan menyebabkan kelemhn denyut pada arteri
radialis, poplitea,dorsalis pedis dan posttibial. Denyut dapat yang cepat atau
reguler dan mungkin juga terdapat pulsus alternans (denyut yang kuat di selingi
denyut yang lemah)
d) Lihat warna kulit,pucat,cyanosis
Rasional: Pucat menunjukkan berkurangnya perfusi perifer sebagai
akibat sekunder dari ketidakadekuatnya CO
e) Nilai perubahan tanggapan panca indera seperti: lethargy,
kebingungan, disoientasi cemas dan depresi.
Rasional: Menunjukkan tidak adekuatnya perfusi cerebralsebagai
akibat sekunder dari penurunan CO
f)
Collaborative dalam pemberian O2 lewat
canul nasal/masker sesuai indikasi.
Rasional: meningkatnya persediaanya O2 untuk kebutuhan myokard
untuk menanggulangi efek hypoxia/iskemia.
g) Collaborative pemberian diuretik
Rasional : Pengurangan preload penting dalam pengobatan pada pasien
cardiac out put yang relative normal yang di sertai oleh gejala-gejala bendungan.
Pemberian loup diuretics akan mengurangi reabsorbsi dari sodium dan air.
h) Collaborative pemberin digoxin
Rasional: meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan melambatkan
kecepatan denyut jantung (heart rate) dengan menurunkan kecepatan konduksi dan
memperpanjng periode retrakter dari AV junction untuk meningkatkan efisiensi
jantung/cardiac out put.
Diagnosa Keperawatan 2. Gangguan pertukaran
gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolus (perpindahan cairan
ke dalam area intertitial/alveoli) Tujuan: Pertukaran gas efektif
Kriteria hasil: menunjukkan ventilasi dan oksigenasi jaringan yang
adekuat pada jringan di tunjukkan oleh GDA/oksimetri dalam rentang normal dan
bebas gejala distress pernafasan
Rencana tindakan:
a) Auskultasi suara nafas, catat adanya krekels
Rasional: Menunjukkan adanya bendungan pulmonal/penumpukan secret
yang membutuhkan penanganan lebih lanjut
b) Atur posisi fowler dan bed rest
Rasional: merangsang pengembangan paru secara maksimal.
c) Pantau/gambarkan seri GDA, nadi oksimetri
Rasional: hipoksemia dapat menjadi berat selama edema paru.
d) Collaborative pemberian O2 sesuai indikasi
Rasional: meningkatkan konsenterasi O2 alveolar yang akan mengurangi
hypoxemia jaringan
e) Collaborative pemberian obat Diuretic
Rasional: Mengurangi bendungan alveolar sehingga meningkatkan
pertukaran gas
f)
Bronkodilator
Rasional : Meningkatkan pemasukan O2 dengan jalan dilatasi saluran
nafas.
Diagnosa Keperawatan 3. Ketidakefektifan
pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap
penumpukan cairan dalam rongga pleura
Tujuan: Pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal
Kriteria hasil: Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam
batas normal, pada pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi
cairan, bunyi nafas terdengar jelas.
Rencana tindakan:
a.
Identifikasi faktor penyebab
Rasional: Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat mengambil
tindakan yang tepat
b.
Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman
pernafasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi
Rasional: Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman
pernafasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien
c.
Baringkan pasien dalam posisi yang
nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60 – 90
derajat
Rasional: Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi
paru bisa maksimal
d.
Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi,
tekanan darah, RR dan respon pasien). Rasional: Peningkatan RR dan tachicardi
merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru
e.
Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2-4
jam
Rasional: Auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas pada
bagian paru-paru
f.
Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan
nafas dalam yang efektif
Rasional: Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam.
Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif
g.
Kolaborasi dengan tim medis lain untuk
pemberian O2 dan obat-obatan serta foto thorax
Rasional: Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan
mencegah terjadinya sianosis akibat hiponia. Dengan foto thorax dapat dimonitor
kemajuan dari berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang paru.
Diagnose keperawatan 4: Cemas atau ketakutan
sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan
untuk bernafas).
Tujuan: Pasien mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga
tidak terjadi kecemasan.
Kriteria hasil: Pasien mampu bernafas secara normal, pasien mampu
beradaptasi dengan keadaannya. Respon non verbal klien tampak lebih rileks dan
santai, nafas teratur dengan frekuensi 16-24 kali permenit, nadi 80-90 kali
permenit.
Rencana tindakan:
a.
Berikan posisi yang menyenangkan bagi
pasien. Biasanya dengan semi fowler.
b.
Jelaskan mengenai penyakit dan
diagnosanya
Rasional: pasien mampu menerima keadaan dan mengerti sehingga dapat
diajak kerjasama dalam perawatan.
c.
Ajarkan teknik relaksasi.
Rasional: Mengurangi ketegangan otot dan kecemasan
d.
Bantu dalam menggunakan sumber koping
yang ada
Rasional: Pemanfaatan sumber koping yang ada secara konstruktif
sangat bermanfaat dalam mengatasi stress.
e.
Pertahankan hubungan saling percaya
antara perawat dan pasien
Rasional: Hubungan saling percaya membantu proses terapeutik
f.
Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya
rasa cemas
Rasional: Tindakan yang tepat diperlukan dalam mengatasi masalah
yang dihadapi klien dan membangun kepercayaan dalam mengurangi kecemasan
g.
Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa
cemasnya
Rasional: Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila sudah
teridentifikasi dengan baik, perasaan yang mengganggu dapat diketahui.
Diagnose keperawatan 5: Ketidakmampuan
melaksanakan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan keletihan (keadaan fisik
yang lemah)
Tujuan: Pasien mampu melaksanakan aktivitas seoptimal mungkin.
Kriteria hasil: Terpenuhinya aktivitas secara optimal, pasien
kelihatan segar dan bersemangat, personel hygiene pasien cukup
Rencana tindakan:
a.
Evaluasi respon pasien saat beraktivitas,
catat keluhan dan tingkat aktivitas serta adanya perubahan tanda-tanda vital
Rasional: Mengetahui sejauh mana kemampuan pasien dalam melakukan
aktivitas.
b.
Bantu Px memenuhi kebutuhannya
Rasional: Memacu pasien untuk berlatih secara aktif dan mandiri
c.
Awasi Px saat melakukan aktivitas
Rasional: Memberi pendidikan pada Px dan keluarga dalam perawatan
selanjutnya.
d.
Libatkan keluarga dalam perawatan pasien
Rasional: Kelemahan suatu tanda Px belum mampu beraktivitas secara penuh.
e.
Jelaskan pada pasien tentang perlunya keseimbangan
antara aktivitas dan istirahat
Rasional: Istirahat perlu untuk menurunkan kebutuhan metabolisme
f.
Motivasi dan awasi pasien untuk melakukan
aktivitas secara bertahap
Rasional: Aktivitas yang teratur dan bertahap akan membantu
mengembalikan pasien pada kondisi normal.
Diagnose keperawatan 6: Kurang pengetahuan
mengenai kondisi, aturan pengobatan sehubungan dengan kurang terpajan informasi
Tujuan: Pasien dan keluarga tahu mengenai kondisi dan aturan
pengobatan
Kriteria hasil:
-
Px dan keluarga menyatakan pemahaman
penyebab masalah
-
PX dan keluarga mampu mengidentifikasi
tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik
-
Px dan keluarga mengikuti program
pengobatan dan menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu untuk mencegah
terulangnya masalah
Rencana tindakan:
a.
Kaji patologi masalah individu.
Rasional: Informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan.
Memberikan pengetahuan dasar untuk pemahaman kondisi dinamik dan pentingnya
intervensi terapeutik
b.
Kaji ulang tanda atau gejala yang
memerlukan evaluasi medik cepat (contoh, nyeri dada tiba-tiba, dispena,
distress pernafasan)
Rasional: Berulangnya proses penyakit memerlukan intervensi medik
untuk mencegah, menurunkan potensial komplikasi
c.
Kaji ulang praktik kesehatan yang baik
(contoh, nutrisi baik, istirahat, latihan).
Rasional: Mempertahankan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan
dan dapat mencegah kekambuhan.
Rencana Tindakan:
Intervensi
No
|
Diagnosa
|
Tujuan & KH
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan keadaan
tubuh yang lemah
|
Pola nafas kembali efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 × 24 jam, dengan kriteria hasil:
- Tidak
terjadi hipoksia atau hipoksemia
- Tidak
sesak
- RR
normal (16-20 × / menit)
- Tidak
terdapat kontraksi otot bantu nafas
- Tidak
terdapat sianosis
|
1. Berikan HE pada pasien
tentang penyakitnya
2. Atur posisi semi fowler
3. Observasi tanda dan gejala
sianosis
4. Berikan terapi oksigenasi
5. Observasi tanda-tanda vital
6. Observasi timbulnya gagal
nafas.
7.
Kolaborasi
dengan tim medis dalam memberikan pengobatan
|
1. Informasi yang adekuat dapat membawa pasien lebih
kooperatif dalam memberikan terapi
2. Jalan nafas yang
longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancar.
3. Sianosis merupakan
salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan tubuh
perifer .
4. Pemberian oksigen
secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga
mencegah terjadinya hipoksia.
5. Dyspneu, sianosis
merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang
menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
6. Ketidakmampuan
tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan
menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
7. Pengobatan yang
diberikan berdasar indikasi sangat membantu dalam proses terapi keperawatan
|
2
|
Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan
distensi kapiler pulmonar
|
Fungsi pertukaran gas dapat maksimal setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 × 24 jam dengan kriteria hasil:
- Tidak
terjadi sianosis
- Tidak
sesak
- RR
normal (16-20 × / menit)
- BGA
normal:
î partial
pressure of oxygen (PaO2): 75-100 mm Hg
î partial
pressure of carbon dioxide (PaCO2): 35-45 mm Hg
î oxygen
content (O2CT): 15-23%
î oxygen
saturation (SaO2): 94-100%
î bicarbonate
(HCO3): 22-26 mEq/liter
î pH:
7.35-7.45
|
1. Berikan
HE pada pasien tentang penyakitnya
2. Atur
posisi pasien semi fowler
3. Bantu
pasien untuk melakukan reposisi secara sering
4. Berikan
terapi oksigenasi
5. Observasi
tanda – tanda vital
6. Kolaborasi
dengan tim medis dalam memberikan pengobatan
|
1. Informasi yang adekuat dapat membawa pasien lebih
kooperatif dalam memberikan terapi
2. Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan
proses respirasi dapat berjalan dengan lancer
3. Posisi yang berbeda menurunkan resiko perlukaan akibat imobilisasi
4. Pemberian oksigen
secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga
mencegah terjadinya hipoksia
5. Dyspneu, sianosis
merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang
menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
6. Pengobatan yang
diberikan berdasar indikasi sangat membantu dalam proses terapi keperawatan
|
3
|
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area
invasi mikroorganisme sekunder terhadap pemasangan selang endotrakeal
|
Infeksi tidak terjadi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3
× 24 jam, dengan kriteria hasil:
- Pasien
mampu mengurangi kontak dengan area pemasangan selang endotrakeal
- Suhu
normal (36,5oC)
|
1.
Berikan HE pada pasien tentang kondisi yang
dialaminya
2.
Observasi tanda-tanda vital.
3.
Observasi daerah pemasangan selang endotrakheal
4.
Lakukan tehnik perawatan secara aseptik
5.
Kolaborasi dengan tim medis dalam memberikan
pengobatan
|
1. Informasi yang
adekuat dapat membawa pasien lebih kooperatif dalam memberikan terapi
2. Meningkatnya suhu
tubuh dpat dijadikan sebagai indicator terjadinya infeksi
3. Kebersihan area
pemasangan selang menjadi factor resiko masuknya mikroorganisme
4. Meminimalkan
organisme yang kontak dengan pasien dapat menurunkan resiko terjadinya
infeksi
5. Pengobatan yang
diberikan berdasar indikasi sangat membantu dalam proses terapi keperawatan
|
3
|
Bersihan jalan napas tak efektif b.d sekret yang
kental atau hipersekresi sekunder akibat ALO
|
Keadekuatan pola napas tercapai setelah pemberian intervensi selama
2x24 jam.
Kriteria hasil:
- RR
dalam rentang normal, 14-18 kali/menit
- Tidak
terdapat retraksi otot bantu napas tambahan
- Ekspansi
dada simetris
- Klien
mengatakan tidak sesak
|
1. Motivasi
klien untuk napas panjang dan dalam apabila tidak terdapat kontra indikasi
2. Kolaborasi
pemberian diuretik sesuai indikasi
3. Kolaborasi
aspirasi cairan paru (pungsi) sesuai indikasi
|
1. Nafas dalam dapat
membantu membebaskan jalan napas.
2. Diuretic dapat
membantu proses pengeluaran cairan dari dalam tubuh
3. Membebaskan jalan
napas
|
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito,
Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Simon,
G. 1981. Diagnostik Rontgen untuk Mahasiswa Klinik dan Dokter Umum.
Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga
Harrison. 1995. Prinsip-prinsip
Ilmu Penyakit Dalam. Volume3. Yogyakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Griffiths,
M. J. D, 2004. Respiratory Management in Critical Care. London: BMJ
Publishing
Lewis, dkk. 1998. Medical Surgical Nursing. Copyright 2000
by Mosby
Zimmerman J.L Taylor R.W, Dellinger
R.P, Farmer. 1997. Fundamental Critical
support. Society of Critical Care Medicine.
|
|
![]() |
![]() |
||
î





|
![]() |
|


Komentar
Posting Komentar